Diary Ramadhan – Edisi 9 Ramadhan 1433H

Oleh: Sri Pujiyanti

Ada anak bertanya pada bapaknya,
Buat apa berlapar-lapar puasa
Ada anak bertanya pada bapaknya,
Tadarus tawareh apalah gunanya
Puasa mengajarmu rendah hati selalu
Tadarus artinya memahami kitab suci
Taraweh mendekatkan diri pada Illahi

Bimbo-Anak Bertanya Pada Bapaknya

Sebagai seseorang yang sedikit hmm, kecanduan pada media sosial (pengakuan, red), saya mengamati bahwa setiap sore di Indonesia (atau sekitar tengah hari di Groningen sini) pada saat berbuka puasa, komputer saya akan dibanjiri oleh foto-foto makanan untuk berbuka. Instagram, Path, Twitter, foto-foto makanan itu ada di mana-mana. Saya yang doyan makan dan selalu kangen makanan di Indonesia, cuma bisa menatap dengan iri pada foto-foto itu (kadang bertekad untuk suatu saat mencoba bikin sendiri dengan harapan tidak gagal). Saya tidak pernah berpikir ada yang salah dengan foto-foto itu, hingga suatu saat, seseorang yang saya ikuti (followed) di twitter, mengucapkan opininya begini, “Bulan Puasa itu saatnya nanya, tetangga sebelah makan apa, pembantu makan apa, tukang makan apa. Bukan pamer kita punya makanan banyak.”*
Dan sayapun merasa disindir. Di Indonesia, setiap kali hendak berbuka puasa, saya sudah memikirkan jauh-jauh sebelum buka mau makan apa, kemudian membelinya. Di jalan, seringkali saya menemukan makanan lain yang juga menarik, dan membelinya. Begitu seterusnya, hingga ketika pulang ke rumah untuk berbuka, saya punya tiga atau empat macam makanan untuk berbuka. Kemudian saya bakal makan terus sampai waktunya tidur. Tidur dengan perut kekenyangan. Sahurpun begitu. Ibu saya dulu pernah bilang, saat puasa, justru anggaran untuk makan biasanya akan membengkak karena makan, pada bulan Ramadhan ini, dianggap sebuah keistimewaan yang harus dirayakan.
Tidak ada yang salah dengan kebiasaan saya itu?
Saya baru kali ini berpuasa di Groningen. 18 jam lebih menahan lapar. Di Indonesia, puasa tidak pernah jadi tantangan untuk saya, tapi di sini, hari kedua saya tumbang. Pusing-pusing. Entah karena memang badan kurang fit atau belum-belum, saya sudah mengkerut memikirkan harus berpuasa 18 jam. Intinya, beberapa kali saya tidak kuat. Ketika saya sedang mengunyah makanan di sore hari sementara beberapa orang masih berpuasa sampai jam 10 malam, tiba-tiba saya berpikir tentang orang-orang yang harus berpuasa, bukan karena alasan agama atau kesehatan atau untuk menurunkan berat badan, tapi karena mereka memang tidak punya makanan untuk dimakan. Berapa lama mereka harus ‘berpuasa’ dan apakah makanan yang kemudian mereka temukan setelah ‘puasa’ cukup bernutrisi untuk mereka? (jangan bicara soal enak tidak enak dulu).
FAO mensinyalir ada sekitar hampir 1 milyar orang yang kelaparan di tahun 2010 atau lebih dari 13% jumlah penduduk bumi**. Satu dari tujuh orang kelaparan. FAO menyebutkan mereka-mereka ini undernourished atau menurut bahasa awam saya, kurang makan. Yang lucunya (atau tidak lucu), masih menurut FAO, jumlah makanan yang diproduksi di dunia ini cukup untuk memberi makan semua orang dengan 2720 kalori per hari (lebih dari cukup). Permasalahan utamanya menurut FAO adalah, orang-orang yang kelaparan ini tidak punya cukup uang untuk membeli makanan mereka. Tidak seperti saya, yang bisa membeli apa saja makanan yang saya inginkan, pilihan untuk 13% penduduk bumi ini tidak cukup banyak atau malah tidak ada.
Puasa mengajarmu rendah hati selalu.
Tentu saja, kita tidak bisa berpura-pura miskin dan menolak makan berhari-hari demi solidaritas dengan hampir 1 milyar orang yang kelaparan. Tentu saja, memfoto makanan itu diperbolehkan. Membagi foto itu di media sosial dan membuat semua orang ngiler adalah suatu kebahagiaan di atas ngilernya orang lain. Tapi mungkin, akan lebih bermakna ketika kita tidak berbuka dengan berlebihan. Ketika sebelum buka, alih-alih berpikir mau makan apa, pertanyaan itu kita ganti dengan tetangga saya makan apa, ya, pembantu saya makan apa, saudara saya makan apa. Karena kita tidak bisa memberi makan seluruh dunia, setidaknya kita bisa memastikan bahwa orang-orang di sekitar kita tidak kelaparan. Dan kemudian kebiasaan ini kita teruskan di luar bulan Ramadhan. Dan bukan hanya soal makanan tapi juga barang lain yang kita konsumsi secara berlebihan.
Dari ustad Khalid Latif (imam mesjid NY University, ceramah2nya bisa dilihat di Youtube), saya membaca ini, “What fasting teaches you is the reality of your own situation and those around you. It allows you to think of what you can start changing about yourself.”
Untuk saya, daftarnya panjang kalau bicara soal apa yang bisa diubah tentang diri saya. Hal itu berarti mengurangi makan berlebihan saat berbuka puasa. Mencoba untuk meneguhkan diri berpuasa 18 jam yang sebenarnya masih lebih pendek daripada di Finlandia dan mungkin jauh jika dibandingkan dengan kelaparan yang dialami saudara kita di Somalia dan Ethiopia. Mencoba untuk bangun subuh tepat pada waktunya (saya tukang tidur). Mencoba untuk bersabar. Belajar untuk melihat sudut pandang orang lain. Dan mudah-mudahan, dengan latihan tersebut sepanjang Ramadhan, puasa bisa mengajari saya untuk rendah hati, dan peduli. Seperti maknanya yang sejati. Amin.

*quote tadi dari twitternya @treespotter
** datanya saya baca dari www.worldhunger.org

Spread the love