Tulisan oleh Prof. Diana L. Eck ini menarik sekali untuk membantu kita mamahami makna pluralisme. Dia menekankan, “..pluralisme bukan sekedar relativisme. Pluralisme adalah pertautan komitmen antara komitmen religius yang nyata dan komitmen sekuler yang nyata. Pluralisme didasarkan pada perbedaan dan bukan kesamaan. Saya ingin katakan bahwa pluralisme adalah sebuah ikatan –bukan pelepasan– perbedaan dan kekhususan.”

——-

Rujukan untuk Diskusi di Indonesia
22-26 Agustus 2005

Diana L. Eck
Professor of Comparative Religion and Indian Studies
Director of the Pluralism Project
Harvard University

Kubah putih raksasa dari sebuah mesjid dengan menara-menaranya yang menjulang di atas ladang jagung di Toledo, Ohio. Kita bisa melihat pemandangan ini saat mengendarai mobil di jalan tol antar-negara bagian. Sebuah kuil Hindu dengan pahatan gambar gajah di pintu masuknya berdiri di pinggiran sebelah barat kota Nashville, Tennessee. Sebuah kuil Budha Kamboja beserta padepokan dengan atap khas Asia Tenggara tampak di daerah pertanian sebelah selatan Minneapolis, Minnesota. Di daerah sekitar Fremont, California, sejumlah bendera berkibar dari kubah-kubah emas gurdwara Sikh di Hillside Terrace, yang sekarang diubah namanya menjadi Gurdwara Terrace.

Peta agama di Amerika telah berubah drastis dalam empat puluh tahun terakhir, tapi kebanyakan penduduk Amerika belum menyadari dimensi dan ruang lingkup dari perubahan tersebut.kendati perlahan, perubahan tersebut terjadi secara kolosal. Ini bukanlah gambaran dari Amerika yang religius yang dibayangkan banyak orang di berbagai belahan dunia. A.S. biasanya diidentikkan dengan Kristen, kadang-kadang bahkan Kristen yang sangat konservatif, terpolitisasi, serta yang penuh dengan misi-misi sayap kanan. Atau, A.S. dipandang sebagai bangsanya kaum Kristen dan Yahudi. Atau, bagi sebagian orang, Amerika merupakan negara yang sekuler. Memang, bahkan di A.S. sendiri, banyak orang Amerika yang saya temui terkejut saat menyadari bahwa ada 1400 mesjid dan pusat Islam di Amerika, bahwa ada lebih banyak Muslim daripada penganut Episkopal, serta bahwa jumlah umat Muslim dan Yahudi di Amerika hampir sebanding, yakni sekitar lima sampai tujuh juta orang. Di Amerika sendiri, orang-orang terkejut saat menyadari bahwa Los Angeles merupakan kota dengan umat Budha yang paling bervariasi di dunia, dengan adanya penganut Budha dari berbagai tempat di Asia mulai dari Sri Lanka sampai Korea, yang bercampur dengan penganut Budha kelahiran Amerika. Kita tahu bahwa banyak di antara dokter penyakit dalam, dokter bedah, dan perawat kita berasal dari India, tapi tidak pernah terpikirkan oleh kita bahwa mereka pun memiliki kehidupan beragama, bahwa mereka mungkin meluangkan waktu barang lima menit di pagi hari untuk berdoa di altar ruang tamu di kediaman mereka, bahwa mereka mungkin membawa buah-buahan dan bunga-bungaan ke kuil Shiva-Vishnu lokal di akhir minggu.

Semua ini diawali dengan .imigrasi baru., yang dipicu oleh kebijakan imigrasi tahun 1965, di mana orang-orang dari seluruh dunia datang ke Amerika dan menjadi warga negara. Bersama mereka datang pula tradisi keagamaan dunia.Muslim, Hindu, Budha, Jainisme, Sikh, Zoroaster, Afrika dan Afro-Karibia. Proyek Pluralisme, yang saya prakarsai di Universitas Harvard, telah mendokumentasikan Amerika baru yang religius ini selama lebih dari satu dekade. [Lihat http://www.pluralism.org]

Mungkin Anda bertanya, bagaimana ini semua terjadi? Pada tanggal 4 Juli 1965, President Lyndon Baines Johnson megesahkan sebuah UU Imigrasi baru di bawah Patung Liberty. Pintu-pintu Amerika terbuka bagi para imigran dari seluruh dunia. Namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Sejak 1924, sebuah sistem kuota yang sangat ketat telah menghentikan imigrasi, dan bukan rahasia lagi bahwa imigrasi dari Asia sangat dibatasi, yang diawali dengan dikeluarkannya Kebijakan Pengucilan Orang Cina pada tahun 1882. Dekade demi dekade, cakupan .pengucilan orang Asia. meluas meliputi orang Jepang, Korea, dan orang Asia lainnya. Imigran yang lahir di Asia tidak dapat menjadi warga negara, demikianlah putusan Mahkamah Agung dalam kasus Bhagat Singh Thind pada tahun 1920an. Thind adalah penganut Sikh, ia merupakan warga yang telah dinaturalisasi, dan telah mengabdi pada Angkatan Darat A.S. dalam Perang Dunia I. Pada tahun 1923, kewarganegaraannya dicabut. UU Kemigrasian 1924 telah mengucilkan orang-orang yang tak berhak atas kewarganegaraan, dan ini artinya seluruh orang Asia.

Kebijakan Imigrasi 1965 terkait dengan semangat dalam Kebijakan Hak-hak Sipil yang dikeluarkan tahun 1964. Dengan semakin sadarnya orang-orang Amerika atas struktur rasisme yang tertanam dalam bangsa mereka, mereka pun menyadari bahwa diskriminasi ras masih mewarnai UU Keimigrasian, mengucilkan orang-orang dari apa yang saat itu dikenal sebagai .segitiga Asia-Pasifik.. Di awal kepemimpinannya, Presiden John F. Kennedy menyiapkan rancangan UU untuk .menghapuskan diskriminasi antar individu dan antar bangsa yang berdasarkan hal-hal yang tidak berhubungan dengan kontribusi yang dapat diberikan oleh para imigran, serta yang tidak konsisten dengan tradisi bangsa kita yang penuh penerimaan.. Robert Kennedy, sang Jaksa Agung, mengatakan, .Seiring dengan upaya kita dalam menghapuskan gejala-gejala rasisme dari kehidupan bermasyarakat, kita tidak bisa lagi mempertahankan rasisme sebagai dasar UU Keimigrasian kita..

Dengan demikian dimulailah sebuah era baru keimigrasian, serta sebuah babak baru yang kompleks dan penuh warna dalam kehidupan beragama di Amerika. Amerika masih baru terjaga dan berjuang dengan berbagai dimensi dari realitas baru ini. Sensus tahun 2000 mengungkapkan bahwa lebih dari 10% penduduk Amerika sekarang ini lahir di negara lain. Persentase terbesar dari para imigran baru berasal dari Asia dan Amerika Latin.

Sering kali ketika saya berbicara di depan audiens Amerika belakangan ini, tahun 2005, saya mencoba menjelaskan bahwa yang disebut-sebut sebagai .dunia Islam. tidak berada di bagian dunia lain. Kenyataan sebenarnya adalah, Amerika Serikat adalah bagian dari dunia Islam itu. Chicago dengan tujuh puluh mesjidnya beserta setengah juta umat Muslim, lengkap dengan Majelis Organisasi Islam di Chicago Raya, adalah bagian dari dunia Islam. Weekend berikut, pada hari Buruh Amerika, di Chicago, Masyarakat Islam Amerika Utara akan mengadakan pertemuan tahunan. Sekitar 30.000 Muslim akan ambil bagian dalam salah satu pertemuan tahunan terbesar di Amerika ini. Tema utama dari pertemuan tersebut adalah .Muslim di Amerika Utara: Berbagai Tantangan dan Jalan ke Depan.. Mereka akan membahas masalah, .Pluralisme: Berkah atau Masalah.. Topik-topik lainnya mencakup Hubungan antara Suami-Istri dan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Melawan Islamofobia dan Fitnah, Umat Muslim dan Kebijakan Publik, Wanita dan Pria dalam Mesjid di Amerika, Respons Umat Muslim terhadap Bencana Tsunami. Dalam hal hubungan antar umat beragama, mereka akan membicarakan tentang fatwa menentang terorisme yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Dewan Fiqh Amerika Utara serta tanggung jawab komunitas Muslim Amerika untuk memahami dan menindaklanjuti .teror kembar ekstremisme dan terorisme agama.. Mereka juga akan mengadakan pameran kesenian, pameran buku, dan turnamen bola basket. Pertemuan seperti ini merupakan sebuah pernyataan publik yang terbuka dari apa yang saya maksud dengan sebuah .Amerika Baru yang Religius..

Keragaman kehidupan beragama di Amerika sekarang ini berjalan seiring dengan sebuah komitmen yang konstitusional akan kebebasan beragama dan kebebasan menentukan pendapat. Memang banyak di antara para pendiri Amerika yang beragama Kristen, namun mereka dengan gigih berupaya menciptakan suatu pemerintahan yang tidak didominasi oleh kepercayaan mereka atau kepercayaan lainnya.

Bagi Madison dan banyak pendiri bangsa lainnya, argumen bagi ketidakharusan menganut agama tertanam secara teologis. Dalam berjuang untuk kebebasan beragama, kami menghargai kebebasan yang diperintahkan oleh Tuhan. Tidak mengherankan bila umat Muslim Amerika, yang sependapat dengan Qur.an bahwa tidak boleh ada paksaan dalam agama, melihat hal ini sejalan dengan semangat para pendiri Amerika.

Mereka yang menulis kalimat ini tidak membayangkan keragaman agama di Amerika dewasa ini dengan warganya yang memeluk Islam, Budha, Aliran Jainisme, dan Hindu. Meskipun demikian, prinsip-prinsip yang kokoh mengenai kebebasan menjalankan ibadah agama dan ketidakharusan menganut agama telah mampu bertahan mengatasi ujian waktu seiring dengan semakin meluasnya keragaman agama di Amerika. Pluralisme agama yang kaya di Amerika dewasa ini adalah hasil langsung dari komitmen kita kepada kebebasan beragama. Tradisi humanis sekuler Amerika juga merupakan produk kebebasan hati nurani yang dibangun menyatu dalam pondasi Konstitusi. Kebebasan agama adalah juga kebebasan dari agama apapun. Ketika warga Prancis Alexis de Tocqueville mengadakan lawatan mengelilingi Amerika pada 1820an, dia menemukan bahwa memutus hubungan antara gereja dan negara sesungguhnya membuat agama semakin kuat, bukannya malah melemahkan. Hal ini cukup membuatnya heran.

Dewasa ini, seperti yang kita semua ketahui, hal ini terus berlanjut. Apa yang disebut Kristen kanan aktif secara politis, sangat vokal, dan bekerja untuk memilih pejabat-pejabat publik yang akan memajukan agendanya. Demikian juga dengan Kristen kiri. Demikian juga halnya dengan gerakan Damai Kristen. Hal yang sama juga dilakukan oleh kaum Yahudi, Muslim, dan Hindu. Demikian juga dengan koalisi yang dinamakan Aliansi Antar-keyakinan (Interfaith Alliance). Demikian juga dengan organisasi sekuler yang penuh semangat seperti American United for the Separation of Church and State (Amerika Bersatu untuk Pemisahan Gereja dan Negara). Sebagian rakyat Amerika memang masih beranggapan bahwa Amerika adalah sebuah .negara Kristen,. namun mereka akan mendapati banyak pemikiran lain di arena publik. Amerika adalah juga sebuah negara dimana warga Muslim Amerika berdiri di balai pertemuan Kongress untuk menyampaikan doa untuk umum, mengadakan barbeque kotak suara untuk mendaftar Muslim yang akan memberikan suaranya, dan menyelenggarakan hari-hari lobbi Muslim (Muslim lobbying days) di Capitol Hill di Washington. Amerika adalah negara simana warga Buda Amerika menahbiskan biarawan baru di kuil yang mengibarkan bendera Amerika, warga Hindu Amerika mencalinkan diri untuk jabatan di tingkat lokal dan negara bagian dan menyerahkan laporan kepada Mahkamah Agung, dan warga Sikh Amerika mendesak hak-hak konstitusional untuk mengenakan turban dan mempertahankan rambut mereka tetap dipelihara di tempat kerja.

Tantangan negara multiagama yang sesungguhnya sangat banyak terbentang dihadapan kita sekarang ini. Ini adalah waktu ujian yang sesungguhnya bagi dua prinsip ketidakharusan menganut agama dan kebebasan menjalankan ibadah agama. Kaum mayoritas mungkin memenangkan pemilu, tetapi Konstitusi dilindungi oleh pengadilan atas nama individu, anggota komunitas minoritas, yang tidak akan pernah memenangi pemilu tetapi hak-haknya untuk melaksanakan ibadah agama ada di di jantung janji kewarganegaraan kita. Musim panas ini, isu-isu ini banyak muncul di agenda. Apakah sebuah county di negara bagian Kentucky menempelkan Sepuluh Perintah Injil di Gedung Pengadilan Countynya? Tidak, pengadilan memutuskan pada musim panas ini. Haruskah Angkatan Udara AS mengambil inisiatif untuk memastikan kadetnya yang beragama Islam diberi waktu untuk menjalankan ibadah agamanya? Ya, Departemen Pertahanan akan mendesak pada musim panas ini. Apakah seorang saksi Muslim bersaksi atas kebenaran pernyataanya dengan manaruh telapak tangannya di atas Kitab Suci Al-Qur.an? Ya, kata the American Civil Liberties Union (Serikat Kebebasan Sipil Amerika) dalam tuntutan perkara di North Carolina. Dapatkah seorang perempuan Muslim menuntut sebuah perusahaan di Florida yang melarang dia mengenakan tutup kepala (jilbab) di tempat kerja? Ya, kata the Equal Employment Opportunity Commission (Komisi Kesempatan Memperoleh Pekerjaan yang Setara). Dia dapat menuntut atas perlakuan diskriminasi di bawah Undang-UndangHak-hak Sipil Florida.

Sebuah moto biasanya mudah diingat tetapi sulit untuk bertahan lama. Amerika Serikat dan Indonesia, dalam satu hal, memiliki kesamaan moto yang memberi gambaran kekompleksitasan kita. Untuk Indonesia ada .Bhineka Tunggal Ika,. .Berbeda-beda tetapi Satu.. Untuk Amerika Serikat ada, .E Pluribus Unum,. .Satu dari banyak.. Di Amerika, kalimat ini tercetak di mata uang koin yang ada dalam kantong pakaian kita yang begitu kita kenali, sehingga kadang kita jarang memikirkan apa artinya. Apakah ukuran dari banyaknya kita? Apa makna dari ke satuan kita?

Ditengah-tengah semua pluralitas ini, ungkapan unum, satu ke satuan kita, memerlukan banyak pemikiran, masing-masing memberi kontribusi dengan caranya sendiri . seperti suara orang Muslim yang akan mempertahankan .kebenaran yang nyata (self-evident truth). dari kesetaraan manusia bukan hanya karena ia tertulis dalam Deklarasi Kemerdekaan, tetapi karena ia adalah juga bagian dari ajaran al-Qur.an dan sebuah prinsip keyakinan mereka sebagai Muslim. Mendengar cara-cara baru memberi ungkapan ke pada gagasan Amerika adalah tantangan yang kita hadapi dewasa ini.

Dalam memulai menyatakan perbedaan pada masyarakat umum, satu kata mungkin menandai perubahan dalam kesadaran dan pengakuan bahwa sebuah masyarakat baru sedang berlangsung. Misalnya, seiring dengan jumlah Muslim yang semakin banyak dan kentara di masyarakat Amerika, para pejabat publik mulai berpindah dari berbicara tentang .gereja dan synagog. ke .gereja, synagog, dan masjid..

Pada 1996, Angkatan laut AS mengangkat Imam Muslim pertamanya, Lt. Malak Ibn Noel, dan pada 1998 masjid Angkatan Laut AS pertama dibuka di pangkalan Angkatan Laut Norfolk di Virginia, dimana Letnan Noel ditempatkan. Ketika limapuluh pelaut menghadiri sholat Jum.at di masjid ini, mereka memberi tanda kepada kita adanya era baru kehidupan beragama Amerika.

Satu hal yang sudah pasti E Pluribus Unum tidak berarti .Dari banyak agama, satu agama.. Dari sudut pandang tradisi banyak agama di Amerika, .ke satuan. kita bukan berarti pencampuran berbagai agama kedalam sejenis tempat pertemuan agama. Mungkin ada yang berpindah agama, seperti yang telah banyak terjadi. Sesungguhnya, warga Amerika keturunan Eropa dan Amerika keturunan Latin banyak yang menjadi Muslim. Keturunan Korea beragama Buda menjadi Kristen. Pemeluk Protestan dan Katolik mulai menjalankan ibadah agama Buda dan menyatakan mereka adalah pengikut Buda. Ada juga perkawinan antar agama, seperti pernikahan kaum muda antara pemeluk Islam dan Kristen, Hindu dan Yahudi. Ada kebaktian antar agama pada acara perayaan nasional atau tragedi, dimana kaum Kristen, Yahudi, Muslim, dan Buda menyampaikan doa, masing-masing dengan caranya yang berbeda. Tetapi tidak pernah ada ke satuan agama. Ia lebih berupa ke satuan komitmen kepada janji kewarganegaraan diluar banyaknya tradisi agama, keragaman cara dan dunia agama.

Setiap tradisi agama mempunyai caranya sendiri dalam mengartikulasikan banyaknya keyakinan. Pada June 25, 1991, seorang imam Muslim berdiri di majelis (chamber) DPR AS di pagi hari dan menyampaikan doa singkat, sebagai imam untuk hari itu. Itu adalah peristiwa pertama kali dalam sejarah Amerika seorang Muslim melakukan hal itu. Imam tersebut adalah Siraj Wahaj, pemimpin Muslim Amerika keturuann Afrika dari Brooklyn, New York. Dia telah mengubah pojok kota yang kotor yang didominasi oleh penjual obat-obatan menjadi sebuah masjid, namanya Mashid al Taqwa, rumah bagi komunitas Muslim Brooklyn yang penuh semangat. Doa di depan Kongress yang sangat penting dijadwalkan sedekat mungkin ke hari besar Agama Islam, Idhul Adha, perayaan untuk berkorban, ketika kaum Muslim mengenang ketaatan Nabi Ibrahim kepada Tuhan yang siap mengorbankan putranya Ismail. Doa yang disampaikan oleh Siraj Wahaj memasukkan ayat-ayat dari Al-Qur.an yang menjelaskan istilah pluribus dan unum, yang menjadi pertanyaan kita. .Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala Puji kami panjatkan kepadaMu yang membentuk dan memberi warna kamidalam kandungan ibu kami, memberi kami warna putih, coklat, merah, kuning. Segala puji kami panjatkan kepadaMu yang telah menciptakan kami dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kami berbangsa-bangsa dan bersuku bangsa yang membuat kami saling mengenal..

Ayat Al-Qur.an yang beliau singgung disini adalah ayat yang sering dikutip oleh kaum Muslim untuk memperkuat bahwa keragaman manusia dalam hal ras, jender, suku bangsa, dan bangsa adalah berada dalam pemeliharaan Tuhan. Lagipula, Tuhan bisa saja menciptakan satu jenis manusia, tetapi seperti yang Al-Qur.an nyatakan, Tuhan menciptakan kita kedalam berbagai bangsa dan suku bangsa, bukan dimaksudkan agar kita bercerai berai, melainkan untuk saling mengenal..

Pada tahun 1915, seorang imigran Yahudi, Horace Kallen yang adalah seorang ahli sosiologi menulis sebuah artikel yang banyak dibicarakan dalam The Nation mengenai visi pembauran (melting pot) di Amerika. Dia lah orang pertama yang menggunakan istilah .pluralisme. untuk melukiskan sebuah visi alternatif. Artikel tersebut berjudul .Democracy Versus Melting Pot. (Demokrasi Melawan Pembauran) dan di situ ia menulis bahwa ide .pembauran. bersifat anti-demokrasi. Hal ini bertentangan dengan prinsip Amerika yang sangat mendasar. Lagi pula, salah satu kebebasan yang dihargai di Amerika adalah kebebasan menjadi diri sendiri tanpa menghilangkan budaya seseorang yang menjadi ciri khasnya. Kallen melihat kemajemukan dan kesatuan di Amerika dalam sebuah gambaran simfoni dan bukannya pembauran.

Merupakan sebuah gambaran yang menarik . simfoni sebuah masyarakat di mana masing-masing kelompok mempertahankan perbedaannya, bersama-sama mendengarkan musik secara utuh. Kallen terkesan lebih menyamakan hal itu dengan musik jazz ketika dia menulis bahwa, tidak seperti halnya peradaban, sebuah simfoni disusun sebelum dimainkan. Akan tetapi, dalam musik jazz, permainan adalah penulisan.

Lalu, apakan pluralisme itu jadinya? Tentunya ini menjadi topik yang kontroversial di Indonesia saat ini, terutama mengingat pada pertemuan bulan lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan pluralisme, sekularisme, bentuk liberalisme dalam Islam, dan doa bersama antarumat beragama. Sementara fatwa tersebut terkesan melarang .pluralisme., fatwa itu juga memiliki pemahaman mengenai pluralisme yang memandang semua agama adalah sama, berlaku sejajar, dengan kebenaran yang relatif. Seperti dikutip The Jakarta Post, Ketua Komisi Fatwa, Ma.ruf Amin berkata, .Pluralisme dalam arti seperti itu adalah haram karena membenarkan agama lain.. Banyak tokoh ternama Indonesia yang menanggapi fatwa tersebut termasuk Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri; Ulil Abshar Abdalla, Sekjen Konferensi Agama dan Perdamaian Indonesia. Tetapi di Indonesia seperti halnya di A.S., istilah pluralisme sering disalahartikan dengan kritik sebagai penilaian bahwa semua agama adalah sama. Hal ini jauh dari arti pluralisme yang seharusnya. Bahasa pluralisme bukanlah bahasa mengenai kesamaan atau sekedar bahasa tentang perbedaan, namun bahasa tentang dialog. Pluralisme adalah mengenai keterikatan, keterlibatan, dan keikutsertaan. Pluralisme adalah bahasa mengenai arus, pertukaran, dialog, dan debat. Pluralisme adalah bahasa yang dibutuhkan oleh demokrasi agar dapat bertahan hidup. Ada tiga hal tentang pluralisme yang dapat menjelaskan arti Proyek Pluralisme.

Pertama, saya berpendapat bahwa .pluralisme. bukan hanyak beragam atau majemuk, Pluralisme lebih dari sekedar mejamuk atau beragam dengan ikatan aktif kepada kemajemukan tadi. Meski pluralisme dan keragaman terkadang diartikan sama, ada perbedaan yang harus ditekankan. Keragaman adalah fakta yang dapat dilihat tentang dunia dengan budaya yang beraneka ragam di Amerika Serikat dan Indonesia. Pluralisme membutuhkan keikutsertaan.

Di dunia di mana kita hidup saat ini, keragamam belaka tanpa usaha ikut dalam hubungan nyata dengan mereka yang berbeda dan tanpa usaha untuk menciptakan masyarakat yang harmonis akan menimbulkan masalah yang terus bertambah.

Kedua, saya ingin katakan bahwa pluralisme bukan sekedar toleransi. Pluralisme lebih dari sekedar toleransi dengan usaha yang aktif untuk memahami orang lain. Meskipun toleransi sudah pasti merupakan sebuah langkah ke depan dari ketidaktoleransian, toleransi tidak mengharuskan kita untuk mengetahui segala hal tentang orang lain. Toleransi dapat menciptakan iklim untuk menahan diri, namun tidak untuk memahami. Toleransi saja tidak banyak menjembatani jurang stereotipe dan kekhawatiran yang bisa jadi justru mendominasi gambaran bersama mengenai orang lain. Sebuah dasar yang terlalu rapuh untuk sebuah masyarakat yang kompleks secara religius seperti kami.

Kini, dengan kebebasan menjalankan ibadah agama di negara kita dan di sekitar kita, sebuah masyarakat yang sejatinya pluralis harus berkembang melebihi toleransi untuk mencapai pemahaman yang konstruktif. Kita harus memiliki sekolah-sekolah yang giat mengajarkan agama-agama di dunia dalam konteks bidang studi sosial atau sejarah. Kita membutuhkan pemimpin agama yang terlatih yang tidak hanya mampu menanamkan keyakinan yang dalam pada komunitasnya, namun juga terpelajar secara agama, dan mampu mencegah para agamawan lainnya salah menafsirkan dan mencemarkan komunitas agama lain. Toleransi tidak dapat menghilangkan ketidaktahuan kita tentang orang lain dan meninggalkan kebenaran lainnya dan kekhawatiran yang mendasari pola lama perpecahan dan kekerasan. Di dunia yang kita tinggali ini, ketidaktahuan kita akan semakin mahal harganya.

Ketiga, dan yang paling penting bagi mereka yang khawatir akan pluralisme, saya ingin tekankan bahwa pluralisme bukan sekedar relativisme. Pluralisme adalah pertautan komitmen antara komitmen religius yang nyata dan komitmen sekuler yang nyata. Pluralisme didasarkan pada perbedaan dan bukan kesamaan. Saya ingin katakan bahwa pluralisme adalah sebuah ikatan — bukan pelepasan — perbedaan dan kekhususan. Bahkan MUI tampak menunjukkan kalau muslim menerima fakta bahwa .masyarakat percaya pada perbedaan agama.. Seperti yang diungkapkan Ma.ruf, .Karenanya, kita harus saling menghormati dan hidup bersama secara damai.. Namun harus ditambahkan bahwa hidup bersama dalam sebuah masyarakat yang penuh semangat bukan hanya sekedar hidup berdampingan tanpa memedulikan orang lain. Hal itu membutuhkan ikatan, kerjasama, dan kerja yang nyata. Ikatan komitmen yang paling dalam, perbedaan yang paling mendasar dalam menciptakan masyarakat secara bersama-sama menjadi unsur utama dari pluralisme.

Ikatan perbedaan dalam masyarakat yang pluralistik tidaklah dibentuk berdasarkan struktur peperangan, namun struktur dialog. Ikatan yang penuh semangat, bahkan argumentasi bersama menjadi penting bagi masyarakat yang demokratis. Dengan kata lain, keyakinan beragama juga menjadi sangat penting yang didapat bukan karena kebiasaan atau warisan, namun dalam konteks dialog dengan komitmen dari mereka yang menganut keyakinan lain. Dialog seperti ini tidak ditujukan untuk mencapai kesepakatan, namun mencapai hubungan. Komitmen tidak ditinggalkan. Bahasa pluralisme adalah dialog dan pertemuan, memberi dan menerima, serta kritik dan kritik diri. Dalam dunia kita ini, bahasa inilah yang harus kita pelajari.

Spread the love