Diary Ramadhan – Edisi 15 Ramadhan 1432H

Setengah abad yang lalu amat mudah mendapatkan kota atau negeri yang homogen, dihuni oleh satu kelompok etnik, budaya atau agama tertentu. Tapi sekarang tidak lagi. Mobilitas penduduk yang bergerak sangat dinamis, didukung oleh perkembangan iptek yang luar biasa, telah menyebabkan struktur dan komposisi penduduk di berbagai daerah berubah cepat. Di mana-mana muncul masyarakat multikultural, masyarakat bhinneka dengan heterogenitas yang semakin tinggi, sehingga menuntut adanya saling pengertian dan saling menghargai agar bisa hidup bersama dalam satu masyarakat yang utuh.

Sikap dan pandangan hidup bagaimana yang diperlukan dalam suatu masyarakat multkultural telah melahirkan Multikulturalisme sebagai suatu faham yang dituntut oleh perkembangan masyarakat global yang plural. Faham ini berangkat atas dasar kesamaan martabat manusia (equal dignity of human rights), dimana dignity adalah salah satu prinsip hidup manusia. Dalam masyarakat multicultural setiap kelompok berhak mengembangkan diri sesuai dengan “jalan” jati diri atau karakteristik kelompoknya (HAR Tilaar, 2004). Faham ini tidak menganggap cukup dengan adanya Hukum dalam suatu demokrasi konstitusional, karena dalam masyarkat multicultural dibutuhkan adanya jaminan terhadap hak-hak kelompok minoritas untuk mengembangkan martabat atas dasar jati diri mereka. Jadi dibutuhkan adanya kesadaran kolektif yang mendorong munculnya kebudayaan politik yang ditandai oleh adanya penghormatan timbal-balik atas hak-hak manusia, sebab dengan demikianlah demokrasi konstitusional bisa menjamin hak-hak kelompok minoritas untuk duduk bersama dengan kebudayaan kelompok-kelompok lain, tanpa ada rasa takut akan kehilangan identitas atau “ditelan” oleh kelompok mayoritas yang dominan.

Apa relevansi multikulturalisme bagi kita sebagai muslim dan warga bangsa Indonesia? Pertama, berangkat dari realita kita sebagai bangsa yang penuh keragaman. De facto bangsa ini tersebar di 17.000 lebih pulau, terdiri dari puluhan etnik dengan bahasa, tradisi, dan agama yang tidak sama. De jure, kita sebenarnya telah mengadopsi semangat multikulturalisme sekalipun dengan aktualisasi yang masih gamang. Pancasila dan UUD 1945 telah mencoba merangkul semua unsur keragaman itu, sebagaimana teukir tegas pada simbol (Garuda) negara dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika. “Berbeda-beda tetapi tetap satu”, sungguh merupakan semboyan yang paling pas untuk merangkum prinsip-prinsip multikulturalisme. Sayang kita baru berkutat-katit pada slogan tetapi lemah dalam tindakan, sehingga multikulturalisme terasa asing atau bahkan dicurigai.

Kedua, pengalaman pada masa pemerintahan yang lalu bisa menjadi pelajaran berharga tentang perlunya sikap istiqomah pada semangat multikulturalisme, demi kelangsungan hidup bangsa yang memang bersifat multikultural. Kebijakan pemerintah Orde Baru yang otoriter-sentralistik sejak lama telah “membongsai” kebhinnekaan daerah-daerah demi keTunggal Ikaan yang semu. Atas nama persatuan dan kesatuan ruang gerak keanekaragaman kultural yang terdapat di daerah-daerah dipersempit, sehingga menghancurkan local cultural geniuses, seperti tradisi pemerintahan nagari di Minangkabau, pela gandong di Ambon, komunitas dalihan natolu di Tapanuli. Padahal keanekaragaman tradisi sosio-kultural seperti ini merupakan kekayaan kultural yang luar biasa, yang mengandung pranata-pranata sosial yang antara lain berfungsi sebagai defense mechanism untuk memelihara integrasi dan keutuhan sosio-kultural masyarakat (Azyumardi Azra, 2003). Maka pantas diduga jika kekerasan dan konflik bernuansa perbedaan etnik-agama yang marak sejak tahun 1996, tidak lepas dari kebijakan yang telah memandulkan local geniuses tersebut.

Ketiga, pengalaman pendek era Reformasi yang mendebarkan karena kebijakan desentralisasi kekuasaan pemerintah ke daerah-daerah cenderung memperlihatkan gejala “daerahisme” yang tampil tumpang tindih dengan etnisitas“sukuisme”. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali, mempunyai bobot ancaman yang lebih besar terhadap keutuhan bangsa dibandingkan dengan pengalaman yang salah dari pemerintahan Orde Baru yang sentralistik. Jika dulu kebhinnekaan yang terancam, sekarang bandul ancaman itu bergerak ke sisi keTunggal Ikaan. Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan pengungkapan identitas etnik dan agama karena di dalamnya ada kebanggan karakter diri dan kemartabatan kultural yang diperlukan oleh tiap bangsa untuk maju dan kuat. Namun dalam suatu masyarakat yang multikultural, pengungkapan identitas yang sempit bisa menimbulkan antiklimaks yang mengancam kepentingan bersama (masyarakat).
Keempat adalah posisi umat Islam yang mayoritas, sehingga kelangsungan hidup bangsa ini tidak salah kalau disandarkan pada kearifan orang-orang muslim dalam menghargai keanekaragaman kultural tersebut. Apa yang seharusnya kita lakukan dari perspektif dakwah?

Harus disadari bahwa keragaman atau pluralitas kultural itu sudah merupakan suatu kenyataan yang umum, sejalan dengan arah perkembangan masyarakat dari berbagai dimensi. Persoalannya adalah bagaimana pluralitas itu disikapi dan dikonseptualisasikan tanpa harus menghadang laju perkembangan masyarakat. Al-Qur’an pun memastikan trend perkembangan ke arah masyarakat yang multikultural itu, sekaligus mengajarkan bagaimana manusia harus mensikapi keragaman tersebut sebagaimana tersurat pada Al-Hujarat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbagai bangsa dan kelompok agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah mereka yang paling takwa. Allah Maha Tahu dan Maha Teliti”.

Tuntunan normatif yang diberikan Islam terhadap keniscayaan gender dan pluralitas kultural adalah sesuatu yang positif, yaitu: (1). Masuk ke dalam pluralitas itu dengan pikiran terbuka, untuk mengenal dan dikenal (lita’arofuu), mengembangkan proses interaksi interpersonal dan sosial bil hikmah. (2) Taqwa menjadi modal pokok ketika berinteraksi dalam masyarakat multicultural, yaitu taqwa pada pengertiannya yang dasar yaitu “waqaa” atau menjaga diri, (3) Melakukan dua petunjuk itu secara teliti, dalam perspektif dakwah terhadap masyarakat multicultural yang kompleks, untuk memuliakan martabat (dignity) Islam.
Bagaimana tuntunan normatif ini dijabarkan, paling tepat kita lihat ulang bagaimana Nabi membangun masyarakat multikultural di Madinah 1400 tahun yang lalu. Heterogenitas kultural masyarakat kota Madinah dapat dilihat dari hasil cacah penduduk yang dilakukan atas perintah Nabi, berdasarkan hadits riwayat Bukori (Ali Bulac, 2001), di mana dari 10.000 jiwa penduduk Madinah kala itu kaum muslim adalah minoritas (15%). Mayoritas adalah orang musyrik Arab (45%) dan orang Yahudi (40%). Tingkat heterogenitas ini lebih tinggi lagi manakala dipaparkan bahwa masing-masing kelompok Muslim, Musyrik Arab, dan Yahudi itu di dalamnya terdiri dari berbagai kabilah atau sub-kelompok. Kaum muslim sendiri terdiri dari dua kelompok besar Muhajirin (migran) dan Anshor (non-migran), yang masing-masing terdiri dari berbagai suku atau kabilah yang punya tradisi bermusuhan karena kuatnya akar sukuisme dalam masyarakat Arab.

Dalam struktur masyarakat Arab yang tradisional, organisasi sosial sangat bergantung kepada ikatan darah dan kekerabatan. Tetapi di Madinah, untuk pertama kalinya (tahun 622 M) orang-orang yang berasal dari latar belakang suku, agama, dan asal geografis yang berbeda terhimpun bersama dan mengidentifikasi diri sebagai satu kelompok sosial tertentu. Pada Piagam Madinah yang berisi 47 pasal itu, disebutkan di pasal (1) “Muhammad, Nabi Allah, mewakili kaum Mukmin Quraisy dan Yastrib menyatakan bergabung dengan kelompok masyarakat lainnya, ikut berjuang bersama mereka. (2) Membentuk sebuah ummah yang lain daripada manusia-manusia sebelumnya “. (Ali Bulac, 2001). Sangat terasa adanya rasa percaya diri dan pengungkapan dignity dalam rumusan kalimat di kedua pasal tersebut, dan dengan modal itu Nabi serta sahabat-sahabatnya tampil sebagai pengambil inisiatif untuk berdakwah mengembangkan ummah yang multikultural di Madinah.

Jaidi sekalipun pada posisi minoritas, Nabi saw bersama sahabat-sahabatnyas bukan hanya aktif berinteraksi dengan warga kelompok mayoritas, tetapi bahkan mengambil inisiatif untuk membangun struktur masyarakat baru yang sesuai dengan sikon zaman. Tetapi harus dicatat, awal dari semua langkah inisiatif yang berani ini adalah dengan perhitungan atau siyasah yang terukur. Dimulai dengan suatu cacah penduduk, lalu melakukan konsolidasi internal untuk mengukuhkan soliditas kaum muslim yang terdiri dari berbagai kelompok-suku. Pasal 3 sampai 23 dari Piagam Madinah dapat difahami sebagai upaya konsolidasi internal, memperkuat sel-sel jaringan Ukhuwah Islamiyah sebagai persiapan untuk memenangkan “pertarungan” interaksi sosial antarkelompok dalam kompleksitas masyarakat yang multikultural. Ambil contoh dari pasal (17) “Perdamaian di antara Muslimin adalah satu. Tidak seseorang muslim pun boleh bersepakat untuk menyetujui perdamaian dengan mengenyahkan muslim lainnya”, dan pasal (23) “Bila terdapat perbedaan tentang sesuatu hal, hendaklah diserahkan kepada Allah dan Muhammad”. Kedua dictum ini sangat jelas tertuju pada maksud mempersatukan kaum Muslim yang memang berpotensi konflik karena karakter heterogenitasnya.

Jadi, belajar dari apa yang dicontohkan Nabi dan para sahabat di Madinah, salah satu persiapan untuk memasuki masyarakat global yang multikultural itu adalah kemampuan managerial untuk mempersatukan kaum muslim yang tidak homogen. Kaum muslim yang terbelah-belah sudah merupakan realitas sejarah, persoalannya adalah kepemimpinan siapa yang mampu mempersatukan untuk membawa mereka dengan percaya diri dan bermartabat ke kompleksitas masyarakat yang multikulutral, bukan hanya sebagai obyek tetapi sebagai inisiator yang mampu mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam sebagai rahmat bagi semua kelompok masyarakat yang ada.

Berikutnya adalah membangun ukhuwah wathoniyah & bashariah di tengah pluralitas ummah yang ingin hidup bersama secara damai, dengan cara saling menjaga diri (taqwa). Tiap kelompok punya otonomi kultural sendiri, dan mereka berhak mengekspresikan diri sesuai dengan kriteria-kriteria hukum agama dan budayanya. Jaminan atas hak ini dalam Piagam Madina antara lain terlihat pada pasal (25) “Agama orang-orang Yahudi untuk mereka sendiri, agama kaum muslim untuk mereka sendiri. Hal ini termasuk mawla mereka dan diri (person) mereka sendiri”. Diktum ini yang sekarang disebut sebagai salah satu prinsip dalam Multikulturalisme, yaitu bisa menghargai orang lain seperti apa adanya – you are what you are, sebenarnya tak lebih dari upaya sosialisasi atas prinsip-prinsip kebebasan serta oengakuan atas adanya perbedaan agama seperti yang difirmankan Tuhan (S.al-Kafirun) sebelumnya pada periode makkiyah dengan kalimat lakum dienukum wa liyadien.

Bagaimana dengan tugas dakwah? Dakwah tetap berlangsung wajar di tengah-tengah pluralitas yang saling menghargai, untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran ilahiah terhadap warga masyarakat yang semakin kompleks. Dakwah dalam masyarakat yang multikultural berakentuasi pada proses interaksi antarkelompok yang ada, yaitu lewat perilaku-perilaku warga muslim yang menimbulkan proses saling mempengaruhi dengan warga dari kelompok lain. Tuntunan normatif yang diberikan al-Qur’an untuk tampil dengan sikap terbuka, percaya diri, dan menjaga dignity Islam, sebagaimana telah disebut di atas, dimaksudkan untuk efektivitas penularan norma-norma dan nilai Islam dalam proses interaksi antarkelompok tersebut. Sementara tuntunan tentang taqwa, sikap selalu menjaga diri, dimaksudkan untuk memupuk pengendalian diri terhadap potensi-potensi konflik yang lazim ada dalam proses interaksi antarkelompok. Dengan demikian setiap muslim diharapkan bisa tampil dengan perilaku interaksi yang berbobot dakwah bil haal, baik dalam hubungan-hubungan yang bersifat asosiatif maupun yang bersifat disasosiatif.

Fenomena global yang menumbuhkan masyarakat-masyarakat multikultural meyakinkan orang mukmin akan universalitas Islam, karena embrio pengembangan masyarakat multikultural tersebut telah didemonstrasikan Nabi pada periode Madina 1400 tahun yang lalu. Apa yang dituntunkan Nabi adalah: (1) Keberanian untuk memasuki masyarakat multikultural (ummah) secara terbuka, percaya diri, dan menjunjung tinggi martabat Islam (2) Konsolidasi internal dengan membangun ukhuwah Islamiyah. Berbeda pendapat (khilafiyah) sudah merupakan keniscayaan, maka adagium yang tepat adalah “bersatu dalam ushul, bertoleransi dalam furu’ “ (KHM Isa Anshary, 1984). (3) Interaksi sosial dengan kelompok-kelompok lain atas dasar saling menjaga diri dengan saling menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan yang ada. (4) Membangun ukuwah wathoniyah wa bashariyah antarkelompok etnik-agama yang ada.

Kualifikasi dai bagaimana yang dibutuhkan untuk bisa memenuhi empat tuntunan di atas, antara lain dapat disebut beberapa hal.

Pertama harus beriman dan ikhlas terhadap agama yang hendak didakwahkan, sebab keberanian, percaya diri, dan kesetiaan untuk menjaga martabat Islam hanya muncul dari iman serta sifat ikhlas tersebut. Perlu dibangun kesadaran baru tentang makna kewajiban dakwah sebagai tugas untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran ilahiah secara hikmah kepada semua orang. Keihlasan dalam dakwah membuat seorang dai bisa lebih berlapang dada. Soal orang masuk Islam haruslah dengan kesadaran diri dan dengan hidayah Allah. “ Tidak ada paksaan dalam beragama, sungguh sudah jelas beda antara hidayah dengan kesesatan” (Al-Baqarah, 256). Jadi tidak perlu ada perasaan berjasa dengan mengislamkan orang, sebab “ bahkan Allahlah yang berjasa ketika ia membimbing untuk beriman, jika kamu benar-benar beriman”(Al-Hujurat, 17).

Kedua bersifat adil, dalam arti hanya mendakwahkan apa yang sudah diamalkan (Al-Baqarah, 44), tidak menyembunyikan kebenaran Tuhan (Al Imran, 187) karena berbagai kepentingan, dan mendakwahkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Ketiga memiliki hikmah sehingga mampu berdakwah sesuai dengan sikon obyeknya. Dakwah untuk masyarakat kota yang mengalami rasionalisasi dan alienasi sudah tentu – dengan sifat hikmah – didekati dengan cara yang berbeda jika berhadapan dengan masyarakat desa yang stagnan. Dakwah dengan pendekatan esoteris atau estetis dapat dilakukan untuk masyarakat kota, sementara untuk masyarakat desa tersebut dakwah dilakukan dengan pendekatan etis. Penyajian materi dakwah pun tentu bilhikmati, yaitu ke masyarakat kota yang dinamik-plural dengan hidayah sentris sementara ke masyarakat desa yang stagnan dengan rasio sentris. Tetapi bagaimana hikmah bisa dimiliki seseorang (dai), Al-Ghazali mengajukan empat prasyarat: ‘ilmu, iffah, saja’ah, dan ‘adlu.

Keempat, berakhlaq karimah agar bisa tampil sebagai sosok teladan seperti yang dicontohkan dan menjadi kunci sukses dakwah Rasulullah Saw.
Nabi dan para sahabat tampil sebagai inisiator masyarakat multicultural di Madinah dalam posisi sebagai kelompok minoritas. Kaum muslim di Indonesia yang mayoritas (85%) mestinya bisa lebih berhasil dengan menjadikan jejak-jejak sejarah Nabi tersebut sebagai model dakwah dalam membangun masyarakat bangsa yang multikultural.

Wallahu a’lamu bisshowab.

Spread the love