Diary Ramadhan: Edisi 17 Ramadhan 1430 H

Oleh: Arramel

5 September 2005

Udara dingin menerpa wajah kala keluar dari Schipol yang notabene lagi berada dalam transisi  perubahan musim. Berhubung dari dulu ga pernah naik pesawat dan sekarang harus menempuh perjalanan 17 jam, badan menjadi serasa pegal dan kaku setelah melewati beberapa belahan dunia ini. Kala itu waktu baru menunjukkan 07.17 CET, hmm terlalu pagi untuk melanjutkan perjalanan ke kota paling utara, Groningen. Langkahku kuteruskan berjalan menyisiri cafe di areal Plaza sambil memandang mirip liat mall di Jakarta aja, kemudian pandanganku dan pikiran teralih keluar bandara, rasanya ingin menghirup udara segar untuk Belanda (salah salah satu kota dg tingkat udara terbersih di dunia). Ahh aliran oksigen merupakan nikmat yang tak pernah terputus diberikan oleh Alloh SWT hingga satu detik penentuan yang tak satupun manusia di dunia tahu akan hal ini. Entah kenapa isi pikiran masih melayang jauh di tanah air tercinta, mengingat keluarga mengantar kepergian dengan penuh tangis air mata. Ada satu hal yang terbesit kala pamit dengan figur ayahanda almarhum, apakah aku akan masih diberikan kesempatan bertemu dengan beliau? Jiwa optimisme selalu dipancangkan di benak hatiku, mudah-mudahan masih diberikan waktu dan umur oleh-Nya..Tak lupa layaknya seorang anak lelaki berpamitan kepada the first leader in the family aku mencium tangannya meminta restu semoga jalan yang kupilih ini adalah direstui. Figur beliau sangatlah kentara dengan cukup mengatakan iya yang sukses belajar di negeri orang. Namun tetap ada saja perasaan  kecil yang mengganjal apakah memang ini jalan  yang ditunjukkan oleh Alloh SWT..Wallahualam.

16 Februari 2007

Hatiku tersentak bagai tersambar petir kala menerima SMS dari adikku di Bandung. “Mel, ayah sudah tak kuat lagi dan ingin berbicara langsung”. Isi pesan yang singkat ini sangat tak kuduga sama sekali karena beberapa waktu silam, kondisi ayah mulai agak membaik. Hati ini serasa pilu sekali membayangkan diri tak bisa menjenguk dan merawat orang yang sudah membesarkan dari sejak kita lahir hingga besar sekarang. Kunyalakan program Voip untuk menelepon ke Bandung, adikku yang mengangkat pertama kali dan menjelaskan ayah sudah susah untuk bangun, bahkan sudah sulit untuk mengenali ibu dan ade. Ya Alloh, ingin rasanya diriku terbang secepat kilat dan tiba di rumah ingin menyapa keluarga yang sedang dirundung kesedihan yang teramat sangat. Tapi apa daya, kehendak yang maha kuasa berkata lain. Diriku terjebak di ujung utara kota dingin ini tak kuasa untuk menjenguk mereka. Setelah ngobrol dengan ade, akhirnya aku kuatkan diriku utk berbicara dengan ayah. Gumaman serta erangan yang kudengar dari beliau, sontak saja diriku sangatlah sulit untuk menerima kenyataan ini. Karakter beliau sangatlah keras dan terpancar dari sikap dan prilakunya. Namun saat itu, suara yang parau serta runutan kata yang sulit kumengerti terucap dari mulut beliau. Tak kuasa aku minta agar aku bicara dengan ibuku saja, terdengar dari percakapan dari ibu bahwa kondisi ayah sudah tak mungkin disembuhkan. Jadi dari pihak keluarga sudah mempasrahkan kepada takdir yang sudah diguratkan dalam setiap insan manusia di bumi, ada saatnya kita datang dan kembali..

22 Desember 2007

Masih terngiang di kepala, betapa perjuangan utk mencapai hari ini sudah terlampaui dengan penuh lika-liku. Pagi yang cerah menerpa pandanganku keluar jendela rumah kami yang kecil di rumah susun yang sudah kami tinggali dari tahun 1988. Hmm tak terasa yah waktu bergulir sangatlah cepat. Tahun demi tahun berlalu dan entah kenapa diri ini serasa ingin terbang kembali ke masa kecil dulu yang indah, hmm.. Tapi hari ini adalah panggilan yang tak akan terlewatkan. Bagaimana diriku akan menuntaskan setengah perjalanan dari agama, sungguhlah indah dan sangat kunantikan bersanding dengan wanita yang menjadi belahan diri, insya Alloh.. Kala mengucapkan janji yang penuh khidmat maka dengan membaca alhamdulillah tak kuasa diri ingin bersorak sorai dan menangis dalam waktu bersamaan. Iringan doa serta ucapan selamat mengalir tak pernah berhenti dari keluarga dan kolega. Entah knapa, dari dahulu jika mengikuti resepsi pernikahan bagaikan melihat masa lalu serasa melihat replika memori kehidupan. Bertemu kembali dengan teman semasa kecil kala dahulu bermain di kebun belakang SD, atau dengan  kawan SMA yang senang menikmati rindangnya pohon karet besar yang menaungi kegiatan olahraga atau rekan sejawat di kampus universitas dahulu yang sudah membawa momongan atau anak kecil berumur 3 tahun. Hmm waktu sungguh cepat berlalu..

7 September 2009

Empat tahun lamanya sudah diri ini menikmati hidup di negeri orang. Tetap saja ada perasaan yang hilang entah mengapa diri ini selalu mengingat betapa enaknya hidup di negeri sendiri yang penuh dengan kompleksitas hidup yang beragam, sangatlah kontradiktif dengan kondisi disini..

Sambil melirik wajah istri yang sedang tidur nyenyak di sofa dan mata ini sesekali melihat rangkaian US Open 09 yang cukup menarik perhatianku, hatiku kembali mengingat rangkaian cerita hidup yang telah terlewati hingga hari ini. Sungguh banyak sekali runutan kata yang bisa ditulis dan dirangkai menjadi satu buku yang tebal. Namun paragraf dan bab buku ini tak akan pernah bisa menggantikan memori indah, sedih atau bahagia yang berjalan seiring dengan untaian waktu kehidupan..

Epilogue.

Banyak sekali nikmat dan karunia yang kita terima dan lupakan dalam hidup ini. Alangkah baiknya segala upaya serta niat yang telah kita lakukan kembalikan kepada-Nya. Semoga dalam rangkaian memori ini tak luput dari jangkauan pasang surutnya roda kehidupan yang bergulir tak  berhenti. Namun ingatlah suatu saat bahwa diri kita akan bertemu kembali dengan yang maha kuasa. Bawalah bekal yang cukup agar tidak menyesal di kemudian hari..

Ya Alloh berikan hamba petunjuk-Mu dan jagalah selalu niat serta upaya ini agar selalu berada di koridor yang ditetapkan oleh-Mu…

-AMel-

Spread the love