29 Ramadhan

Oleh: Eko Hardjanto

Siapa yang tidak mengenal Umar ibn Khattab ? sahabat mulia Rasullullah SAW. Dengan ketegasannya menjalankan perintah Islam, ia dijuluki Al-Faruq, Sang Pembeda. Dia tegas dan jelas membedakan antara yang haq dan bathil. Rasullulah SAW bersabda, setan pun lari ketika bertemu Umar ibn Khattab. Subhanallah.

Dalam do’a Rasullullah di awal da’wah Islam di kota Makkah, Rasullullah SAW pernah berdo’a, ” Ya Allah, kuatkanlah agamamu ini dengan salah satu di antara 2 Umar”. Akhirnya hidayah Allah diberikan kepada Umar ibn Khattab, ketika alunan ayat suci At-Thaha yang dibacakan adik perempuannya meluluhlantakkan hatinya, menggetarkan tangannya yang telah menghunus pedang untuk membunuh siapa saja yang ber-Islam. “Di mana Muhammad ?” gertaknya kepada adiknya, kemudian Umar dengan pedang terhunus menemui Sang Rasul, bersimpuh di hadapannya, lunglai tak berdaya, sinar Islam telah menghunjam hatinya.

Pahlawan besar telah hadir di tengah para sahabat Rasul, Umar ibn Khattab. Dia berikan seluruh jiwa dan raga untuk berjuang bersama orang yang sangat dicintainya, Rasululluah SAW. Pribadi yang keras sebelum Islam, kini tegas menjalankan perintah agama. Berlomba berbuat kebaikan bersama para sahabat lainnya, tiada hari tanpa perbaikan, tiada hari tanpa duduk melingkar bersama Sang Rasul mengkaji Al-Islam, tiada hari tanpa bersujud kepada Sang Khaliq. Di malam hari Umar bagaikan Rahib yang lemah di hadapan Tuhan-nya, siang hari ia keras beramal, dan ber-da’wah, dan bekerja.

Ada satu cerita menarik di sisi Umar ibn Khattab di tengah semangatnya menjalankan segenap perintah Islam. Ada satu pribadi yang tidak pernah ia dapat kalahkan dalam kualitas amal dan ibadah. Suatu pribadi yang selalu menjadi pedoman dan penyemangat menjalankan kebaikan di samping seorang Rasul, siapakah dia ? subhanallah dialah As-siddiq, Abu Bakar Radhiyallahuanhu.

Suatu ketika Rasul bertanya kepada Umar sebelum berangkat dalam sebuah peperangan, “Apa yang kamu berikan wahai Umar untuk perjuangan ini ?”, “Jiwa dan separuh hartaku ya Rasul” sahut Umar. “Lalu apa yang kau sisakan untuk keluargamu ?” Rasul bertanya, “Separuh hartaku ya Rasul”. Rasullulah terenyum melihat semangat Umar.

Kemudian Rasul bertanya kepada Abu Bakar, “Apa yang kau siapkan untuk perjuangan ini ya Abu Bakar ?”, “Seluruh harta dan jiwaku” jawabnya. “Apa yang kau sisakan di rumahmu ?” tanya Rasul, Abu Bakar menjawab “Cukuplah bagiku Allah dan Rasul-Nya”. “Masya Allah, betapa hebatnya manusia ini”, demikian gumam Umar. Umar terharu dan gundah hatinya, mengapa ia tak bisa melebihi kebaikan Abu Bakar.

Setiap malam sebelum subuh, Umar bergegas menuju masjid untuk sholat malam dan subuh berjama’ah bersama Rasul. Selalu ia dapati, Abu Bakar As-Siddiq telah duduk menunggu di sana, berdzikir di masjid yang mulia. Lagi-lagi Umar tak kuasa menandingi Abu Bakar dalam hal amal dan ibadah.

Ketika Rasul wafat, Umar tak bisa menerima kenyataan ditinggalkan kekasih yang dicintainya itu. Abu Bakar-lah yang menenangkan hatinya. “Dan Rasulmu hanyalah seorang manusia, ia akan kembali kepada Sang Khaliq, lantas apakah kamu kembali tidak beriman setelah kepergiannya ?” Umar bersimpuh, ia lunglai dihadapan Abu Bakar. Ia tersadar, sahabat yang selalu ia contoh, Abu Bakar, telah mengembalikannya kepada sebuah kesadaran.

Inilah contoh dua pribadi mulia di jaman keemasan Islam, dua sahabat terdekat Sang Rasul. Dua sahabat yang selalu fastabiqul khaerat. Dua sahabat yang berbaring tenang di sisi Sang Rasul di dalam kamar Az-Zahra. Dua sahabat yang pertama ada di surga.

Rasul bersabda,” Abu Bakar, ia di surga. Umar, ia di surga…”

Semoga kisah ini bisa kita ambil hikmahnya.

Penghujung Ramadlan, Onderduikersstraat 32

Wassalamu’alaikum

Spread the love