Eko Hardjanto

Tulisan dari blog pribadi untuk meramaikan cafe deG.

***

Sering saya temui dalam blog, milist, juga di beberapa situs jejaring sosial semacam Facebook dan Multiply, orang ramai membahas hingar bingar pemilu Amerika. Daya tariknya apalagi kalau bukan karena sosok Barrack Obama. Terutama setelah ia memenangi pemilu Amerika.

Dalam situs jejaring sosial Facebook, banyak politisi yang membuat page dan menuliskan profil diri mereka. Melalui page pula orang bisa menyatakan diri sebagai fans seseorang. Yang mencengangkan adalah banyak sekali orang Indonesia tertarik menjadi fans Barrack Obama.

Barrack Obama, lebih sering disebut Obama, memang fenomenal. Sosok kulit hitam ini tanpa disangka begitu dominan dalam banyak jejak pendapat pendahuluan pemilu Amerika. Ia berkesan cerdas dan santai. Berlawanan dengan pesaingnya John McCain yang lebih bernuansa ‘angker’ sebagaimana presiden Amerika saat ini George W. Bush.

Kesan cerdas, santai, dan bersahabat inilah yang membuat Obama disukai. Ia terkenal di mana-mana termasuk di Indonesia. Persepsi tentang Obama lekat sebagai tokoh pembaharu politik Amerika dari kejenuhan politik perang a la George W. Bush. Ditambah lagi masa kecil Obama pernah bersentuhan dengan Jakarta. Pada akhirnya sosok Obama menjadi idola banyak orang, termasuk di Indonesia.

Dalam diskusi pemilu Amerika di sebuah milist, seorang teman bahkan mengakui lebih excited mengikuti hingar bingar pemilu Amerika dibanding Indonesia. Diskusi itu terlihat seru dan hangat dilengkapi analisa kritis tentang siapa yang paling menguntungkan bagi Indonesia, Obama atau McCain.

***

Mengamati diskusi tentang situasi politik Amerika kemudian timbul pertanyaan:

Mengapa bagi banyak orang politik Amerika lebih menarik dibanding politik di Indonesia?

Mengapa banyak orang Indonesia terang-terangan menyatakan sebagai fans Obama? (jarang ditemui orang Indonesia berani terang-terangan mendukung salah satu politisi negerinya)

Berangkat dari sebuah analisa sederhana, beberapa faktor yang membuat ketertarikan orang Indonesia terhadapa fenomena politik Amerika adalah:

  1. Amerika sebagai pusat perhatian dunia (center of the universe)

Apa pun yang terjadi di Amerika hampir pasti di dengar seluruh dunia. Blow-up berita pemilu Amerika akhirnya menimbulkan hingar bingar dunia. Semua orang terpusat pada berita itu, dan tanpa sadar ikut terjun dalam suka ria dukung mendukung dan analisa siapa yang terbaik, McCain atau Obama.

  1. Amerika adalah trend.

Adalah sebuah gaya hidup jika mengikuti trend Amerika. Mengikuti trend menghasilkan pengakuan akan identitas diri. Termasuk dalam dukung mendukung calon presiden Amerika. Bukan gaya hidup, saat ini, jika anda menjadi fans SBY, Wiranto, Hidayat Nur Wahid, Amien Rais, atau Gus Dur, misalnya. Mendukung politisi Indonesia, bahasa gaul anak sekarang: ‘gak keren, ‘gak inspriring. Lain jika menjadi fans Obama: ‘keren’, ‘inspiring’, ‘intelek’, dan sebagainya.

  1. Apatis kemudian apolitis.

Sikap apatis sebagian orang Indonesia terhadap politik dalam negeri lahir karena pemasungan demokrasi selama 32 tahun masa orde baru. Ditambah lagi dengan perilaku politisi yang jauh dari kesan wakil rakyat. Sikap apatis ini masih berlanjut walau era reformasi telah lahir. Sikap apatis berkembang menjadi apolitis. Akhirnya terjun dalam hingar bingar politik Amerika yang demokratis menjadi lebih exciting dibandingkan mengikuti berita politik Indonesia. Terlebih lagi jika untuk berkiprah di dalamnya.

  1. Apolitis kemudian apriori

Turunan dari point ke-3, apapun tingkah laku para politisi Indonesia seakan buruk di muka, kemudian tanpa analisa obyektif diabaikan dari perhatian. Sikap apriori ini menumbuhkan rasa enggan untuk mengikuti dan terlibat dalam politik. Hal ini tidak berlaku dengan politik Amerika. Banyak orang bilang apa yang dikatakan Obama adalah inspirasi. Sedikit yang apriori.

Teguran dan ironi sebuah bangsa

Fakta bahwa politik Amerika lebih menarik untuk dinikmati dibanding politik Indonesia adalah sebuah teguran sekaligus ironi. Teguran terhadap para politisi Indonesia untuk serius membangun citra positif politik. Di sisi lain, fenomena ini adalah sebuah ironi bagi bangsa yang rakyatnya memimpikan perbaikan politik, namun dengan cara menjauhinya. Inilah ironi itu: sikap putus asa orang Indonesia.

Bicara tentang politik Indonesia, jujur harus kita akui telah banyak peningkatan prestasi dalam masa sepuluh tahun reformasi. Patut disayangkan jika masih tumbuh sikap apatis dengan perkembangan politik di tanah air. Obyektifitas dalam menilai kinerja politisi, itulah yang harus ditumbuhkan. Tidak semua wajah politik Indonesia buruk, masih ada yang menjanjikan. Sebaliknya tidak semua wajah politik Amerika inspiring, masih banyak cacat yang harus mereka perbaiki.

Saya kemudian menyimpulkan, banyak orang yang sederhana dalam melihat realitas politik. Tanpa mengingkari kehebatan seorang Obama, trend mengikuti hingar bingar politik Amerika seakan melupakan analisa kritis dan historis tentang bagaimana umumnya kebijakan luar negeri presiden Amerika, terlepas siapa presiden-nya. Sebaliknya, sikap apatis, apolitis, dan apriori dengan dunia politik Indonesia seakan menunjukkan ketidak pedulian dengan kemajuan politik negeri sendiri, dan seakan menafikan tokoh-tokoh inspiring di dalam negeri.

Saya teringat perkataan seorang politisi dari tanah air, “Kami bukanlah kumpulan malaikat yang selalu benar, namun juga bukan kumpulan setan yang selalu salah”. Kepedulian orang Indonesia terhadap kemajuan tanah air adalah juga kepedulian mereka untuk berperan serta dalam politik negeri. Amerika dengan Obama memang ‘wah’ dan ‘inspiring’. Tapi jangan malu kemudian buang muka dengan kondisi politik di tanah air.

Harapan masih dan akan selalu ada. Perubahan di tanah air diawali dari gerak tangan kita, orang Indonesia. Jika diskusi Amerika dan Obama begitu mengharu biru dunia maya, akankah kita berlari dari peran serta politik tanah air kelahiran sendiri?

Saya terkesan dengan sebuah ungkapan bijak terhadap pentingnya peran serta masyarakat terhadap politik di tanah air,

“Lebih baik meyalakan lilin daripada terus menerus mengutuk kegelapan…”

***

Eko Hardjanto

Spread the love