Diary Ramadhan : Edisi tanggal 12 Ramadhan 1430 H

Oleh: Lia Atwa

BERANI BERMIMPI…….mungkin dulu tak selantang ini saya ungkapkan, bukan saya takut bermimpi, tapi dulu mimpi seperti dunia lain, dunia kedua, angan, pengharapan, sesuatu yang abstrak. Saya teringat ketika saya masi di sekolah dasar mimpi saya waktu itu, sangat sederhana ingin menjadi orang kaya, punya banyak uang, mirip sebait syair lagu Opi andaresta ”Andai aku jadi orang kaya, andai tak usah pake kerja” yang terbayang waktu itu adalah semua uang itu akan bisa membeli semua mainan, boneka barbie, dan tentu saja memamerkannya pada teman-teman. Akan tetapi mimpi itu tak pernah menjadi nyata, sampai usia kemudian beranjak. mimpi aneh selanjutnya adalah ingin cepat menjadi orang dewasa, terdengar lucu. Waktu itu orang dewasa terlihat sangat “keren,” tanpa pernah saya berpikir orang dewasa punya lebih banyak masalah karena “kedewasaannya.” Seharusnya saya menyesali mimpi itu, ah tapi sudahlah, toh semua sudah lewat, dan dulu saya tetap menikmati hidup dengan mimpi-mimpi yang kemudian tersapu oleh waktu tapi tetap terdokumentasi dengan rapi di otak saya, sekedar menjadi penghibur untuk mengenang kepolosan Lia di masa lalu.  Yang paling aneh, dulu salah satu kakak saya bercita-cita menjadi seorang tukang becak, terkadang dia menempelkan handuk di lehernya, “ke alun-alun lima ratus, bolak-balik seribu” dan ternyata urusan uang pula penyebabnya.

Dulu almarhum bapak saya, kadang bertanya, soal cita-cita dan mengobrol panjang lebar soal itu, sebut saja nanti mau apa, kuliah dimana, mau jadi apa dokter, insiyur, atau apapun itu, dan sebagainya. Jawabannya kadang berubah, dari A, B, C, ah entahlah, seperti tadi gambar mimpi masa depan saya masih tidak jelas.  Bapak hanya mengiyakan semuanya, tidak mendokrin apa-apa. Itu yang saya suka dari beliau, orang yang keras kepala tapi tidak pernah memaksakan hal-hal seperti itu.  Tapi lebih dari itu, beliau mengajarkan saya untuk berani bermimpi.

Kakak laki-laki pertama saya, yang kemudian membuat saya tergoda untuk bermimpi lebih tinggi. Bagaimana dia bercerita tentang hidupnya, mimpinya sebagai seorang sarjana teknik, walaupun dia bukan lulusan universitas terkenal. Tentang keinginannya berdikari. Kemudian dia yang bercerita tentang seorang teman yang melepaskan semuanya di Indonesia dan menuntut ilmu didaratan Eropa, dia selalu bercerita betapa pintarnya si teman tadi. Tiba-tiba, entah darimana pikiran itu datang, terbersit sebuah angan, dimana sayalah orang dibicarakan sang kakak. Tampak indah, menuntut ilmu setinggi itu dengan semangat seperti itu. Dan lagi-lagi, itu hanya sebersit angan.

Mimpi-mimpi itu, dulu saya rangkai, walaupun tidak dengan keyakinan penuh, banyak hal muncul di kepala saya. Bukan lagi mimpi menjadi orang kaya untuk punya barbie mahal. Obrolan-obrolan bersama orang-orang yg senang bermimpi dan berani memperjuangkannya, mereka mentransfer energi itu. Tapi apakah mimpi hanya sebatas mimpi ? Saya tak berani berkata sekarang. Sungguh, akan sangat mudah menuliskan sejuta mimpi, tapi ada yang sifatnya hanya menempel sejenak di otak, lalu hilang. Ada juga mimpi yang membuat kita jadi terbuai, tapi ada juga yang tertanam dengan kuat.

Ketika tekad sudah bulat, sang mimpi akan menghempas setiap terjalnya batu, aral rintang. Tapi tentu saja, kadang tak semudah itu.  Kadang kita terantuk, jatuh, bahkan tak sadarkan diri. Ada yang terhempas, terlupakan atau sengaja dibuang, ada yang mengaduh rusuh, gelisah, ada yang jungkir balik, ada yang balik kanan untuk berbalik arah. Pada akhirnya mimpi adalah sebuah perjanjian yang dipertaruhkan, akankah kita kalah, menyerah bukan pada nasib, bukan menyerah pada takdir tapi menyerah pada satu, satu kesatuan antara daging-darah-tulang, hati-otak, jiwa. Teringat sebait sajak yang sangat disukai syahrir ‘’Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan.’’ Sekarang saya ingin bertaruh dengan mimpi saya, tentu saja saya tidak ingin kalah oleh buaiannya belaka, mimpi yang abstark itu sedikit-demi sedikit harus didekati. Saya tak ingin sang mimpi mengejek kekalahan saya.

Kadang saya terlalu lelap tidur, bermimpi, mimpi yg tanpa batas, ketika terbangun, limbung karena terlalu banyak tertidur. Lupa bahwa mimpi-mimpi tadi dipertaruhkan. Ketika otak dan hati ini sehat, saya bisa lari sekencang mungkin menabrak semua batasan, melepaskan semua kekangan. Tapi ada saatnya diri sendirilah yang mengencangkan semua tali tadi dan mengikatnya pada tiang-tiang, membuat tak mungkin berlari, bahkan untuk merangkak pun sulit. Dan mimpi tadi hanya menjadi sebuah tulisan atau hanya gambar yang tak berbentuk lagi.

Ada sebait sajak dari Rendra yang selalu membuat saya termenung, mengingatkan saya tentang betapa banyak rahasia Allah SWT yang belum tersingkap, dan salah satunya adalah mimpi-mimpi di masa depan. Yang tentu harus diperjuangkan.

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
(W.S.Rendra)

Ada seorang teman pernah bercerita, dia mempunyai sebuah mimpi besar dalam hidupnya. Suatu hari ketakutan menyapanya, akhirnya semua terjawab dengan satu jawaban “Saya serahkan semuanya pada Allah,” ada takdir yg penuh dengan kejutan, melebihi semua ketakutan-ketakutan akan masa depan.

Tulisan ini mungkin hanya sebagai pengingat, disaat kaki sudah tak bisa bergerak, tapi selama kesadaran itu masih ada, saya yakin saya masih sedang bertaruh.  Setiap orang bergulat dengan mimpinya masing-masing, dan mungkin juga limbung dihajar ujiannya. Itu sedikit mengobati hati, ternyata manusiawi saat kita merasa lelah dan berniat menyerah. Tapi banyak pula orang yang melaju dengan kencangnya. Mereka yang lantang berbicara tentang mimpinya, lalu terdiam menutup mulut, mengisi bahan bakar, mengubahnya menjadi energi yang mendorongnya kencang berlari, melesat berlomba dengan angin yang membisiki banyak hal dan mungkin membelokkan arahnya. Sungguh saya ingin belajar pada-orang-orang ini.

Spread the love