Diary Ramadhan edisi 24 Ramadhan 1431H
Oleh: Sri Pujiyanti

Saat ini, ketika berada di Belanda, dengan jilbab saya, dan membaca kontroversi yang terjadi di Eropa mengenai jilbab, Perancis yang melarang pemakaian jilbab di sekolah, Belgia yang melarang burqa, dan Geert Wilders yang ingin pemakai jilbab dikenakan pajak, saya jadi teringat berbagai perbincangan yang terjadi antara saya, teman-teman saya, dan orang-orang di Indonesia mengenai jilbab juga.

Ketika pertama kali mengenakan jilbab, bertahun-tahun yang lalu, jika reaksi orang-orang pada umumnya adalah,’Selamat ya, bla-bla-bla,’ maka reaksi beberapa sahabat saya sedikit berbeda. Salah seorang sahabat saya bertanya, ‘Enci, kamu kenapa?’

‘Kamu tidak lagi sakit kan? Kamu sedang dikemoterapi?’

(Saya tertawa terbahak-bahak). ’Ga, kamu kan tahu scarf saya banyak, dan yang saya lakukan hanyalah memanfaatkan scarf-scarf itu supaya tidak mubazir.’

Teman baik saya tersebut tidaklah sampai hati menanyakan mengapa saya memakai jilbab, akan tetapi saya tahu benar bahwa jauh di dalam hatinya dia menggugat saya. Mengapa saya tunduk pada pemenjaraan perempuan atas nama jilbab.

Selang beberapa waktu kemudian, saya berdiskusi bersama dua orang teman yang lain. Awalnya adalah bicara soal pakaian. Tentang bagaimana pakaian menjadi penanda, atau pembeda, seseorang dengan orang lainnya. Bagaimana Opa Felix, Indo Belanda yang penganut Sunda Buhun itu, memakai pakaian yang dijahit sendiri dan diwarnai alami seperti orang Baduy. Atau seorang Vegan, yang hanya memakai pakaian yang tidak mengandung unsur binatang. Atau jeans, yang menjadi lambang westernisasi.

Lalu pembicaraan beralih ke jilbab. Dua orang yang berbincang dengan saya pada saat itu adalah orang yang berpendapat bahwa jilbab adalah sebuah keharusan. Jilbab buat mereka, adalah lambang pengungkungan perempuan atas ketidakmampuan kaum lelaki mengendalikan hawa nafsunya. Jilbab adalah arabisasi yang mengarus deras di Indonesia. Salah seorang teman saya dalam perbincangan itu menuliskan pemikirannya tentang jilbab dan arabisasi ini dan mengirimkannya ke ‘Jurnal Perempuan’. Lalu dia berbincang dengan saya tentang hal ini. Dan saya menanggapinya dengan cukup keras. Saya rasa tidaklah adil bahwa para pemakai jilbab dianggap terlalu kearab-araban. Bicara soal pengaruh budaya, kalau boleh mengutip ucapan pak Yasraf Piliang yang posmodernis itu, ’Memang ada yang orisinil?’ Semuanya hanya merupakan copy paste dan pinjam sana sini yang kemudian diklaim baru, padahal tidak. Kalau kita tidak suka jilbab karena kearab-araban, mungkin kita juga harus berhenti memakai jeans karena kebarat-baratan, dan berhenti memakai bahasa Sansekerta karena ke-India-Indiaan. Yang bisa diklaim orisinil Indonesia itu apa? Tentunya budaya Indonesia terpengaruh budaya lain sepanjang adanya.

Jilbab menurut saya dimaknai terlalu berlebihan. Di satu kelompok, seperti yang pernah ditulis di Kompas dalam wawancaranya dengan Nawaal El Sadawi, tidak memakai jilbab adalah simbol ‘tidak bermoral’. Ketika seseorang memakai jilbab, dia sudah terelevasi satu tingkat di atas yang tidak memakai jilbab. Sehingga padanya dikenakan berbagai kepatutan dan ketidakpatutan. Sering sekali saya mendengar kata-kata,’Pakai jilbab kok begitu ya?’ dan segala macam aturan yang dilekatkan pada simbol jilbab itu (yang tentunya beda orang beda standar). Jilbab menjadi simbol ketaatan yang membedakannya dengan orang yang tidak memakai jilbab yang (katanya) tidak taat. Saya masih ingat pengalaman pribadi saya di sebuah mesjid di Bandung, ketika saya dan beberapa teman saya yang tidak mengenakan jilbab berkunjung dan hendak belajar mengenai agama disitu, kami merasa kurang nyaman karena, mengutip teman saya tersebut, ’Kita dianggap kayak kafir, ya?’ Sebuah petakompli yang ajaib, walaupun -menurut beberapa teman saya- memahami Indonesia sebagai negara yang menyukai simbol, itu bisa dimengerti. Jilbab adalah simbol. Islam adalah simbol. Tidaklah heran kalau kemudian para politisi memanfaatkan jilbab ini juga untuk tujuan politis mereka, untuk menunjukkan ‘kesalehan’ yang sebenarnya, tidaklah bisa dinilai hanya dari tampilan permukaan.

Di kelompok yang lain, di kelompok liberal feminis dan sebangsanya, jilbab adalah lambang pengungkungan hak-hak perempuan. Lambang pengungkungan perempuan oleh aturan yang notabene didominasi oleh para lelaki. Sehingga di dunia barat dan di dunia liberal, seolah-olah pemakai jilbab adalah orang yang dengan rela hati menjadi subordinat (laki-laki), kurang maju dan berilmu (karena mau dikungkung oleh laki-laki). Jilbab menjadi lambang pemenjaraan. Tentu saja, selain lambang arabisasi. Sebuah petakompli lain yang sama ajaibnya. Apakah ketelanjangan merupakan simbol kemerdekaan? Tentu tidak sesederhana itu.

Di luar perdebatan secara hukum di dalam agama Islam dan para ulamanya mengenai kewajiban mengenakan jilbab, saya secara pribadi merasa aturan jilbab diciptakan untuk melindungi perempuan. Di salah satu buku yang pernah saya baca mengenai pelarangan jilbab di Perancis, si penulis mengatakan, jika dunia barat berpura-pura ketegangan gender antara laki-laki dan perempuan itu tidak ada, maka Islam mengakuinya (dan jilbab salah satu turunan dari pemahaman ini)*. Artinya, jika dunia barat berpura-pura bahwa memandang perempuan itu tidak mendatangkan syahwat untuk para laki-laki, Islam dengan jujur mengakuinya dan bertindak untuk mengatasi masalah ini. Akan tetapi, yang sering menyesatkan dan patriarkis menurut saya adalah para lelaki (di Indonesia, walaupun tentu saja saya tidak bisa menggeneralisir) seringkali menganggap jilbab sebagai penanda. Yang memakai jilbab diperlakukan dengan sopan dan yang tidak, boleh dicolek. Kembali lagi ke pengalaman pribadi, saya yang seumur hidup tidak pernah merasa berpakaian seronok dan tidak pernah berani memakai baju tanpa lengan dan celana pendek keluar rumah, sebelum memakai jilbab beberapa kali mengalami pelecehan, hanya karena saya perempuan, dan ada di dekat laki-laki tersebut. Seolah-olah menahan diri melulu urusan perempuan, padahal laki-laki juga diseru Allah untuk menundukkan pandangannya dan menahan dirinya.

Secara filosofis, jilbab buat saya adalah ajaran Islam untuk berfokus pada esensi, bukan pada hal yang bersifat permukaan. Saya rasa keimanan tidak bisa diukur dari jilbab (walaupun pasti para penganut paham jilbab adalah sesuatu yang wajib akan berkata bahwa memakai jilbab adalah bentuk keimanan kita pada perintah Allah). Tapi apakah setelah memakai jilbab, seseorang itu lebih baik dari orang yang tidak memakai jilbab, saya rasa hanya Allah yang tahu dan bisa menilai. Sama salah kaprahnya dengan orang yang berpikir orang yang memakai jilbab adalah orang yang kurang cerdas, orang yang memilih untuk menyerahkan kebebasannya dan menjadi subordinat. Hanya karena kepala ditutup bukan berarti kapasitas otak kita berkurang, kan?

Saya termasuk orang yang berpendapat, urusan mengenakan pakaian, dalam hal ini jilbab, merupakan urusan personal yang dimaknai secara pribadi (mohon maaf kepada yang berbeda pendapat). Ketika jilbab dipakai sebagai bentuk kepercayaan kita pada agama yang kita percayai, kenapa itu menjadi sesuatu yang salah? Apa bedanya jilbab dengan salib? Dengan topi orang-orang Yahudi? Menjadi salah saya rasa, ketika jilbab menjadi sesuatu yang dipaksakan kepada individu. Seperti juga salah ketika jilbab dipaksa dibuka dari seseorang.Polemiknya muncul ketika jilbab menjadi alat pengkotak-kotakan. Alat pembeda untuk sesuatu yang sebenarnya tidak bisa kita nilai melulu dari permukaan.

Saya melihat pemaknaan orang-orang tentang sepotong kain yang bernama jilbab ini sungguh tragikomik. Lucu dalam konteks menyedihkan. Di negeri saya Indonesia, orang seringkali melecehkan perempuan yang tidak mengenakan jilbab. Di Eropa sini banyak cerita tentang perempuan berjilbab yang dilecehkan, hanya karena mereka mengenakan jilbab. Ketika di Aceh jilbab diwajibkan untuk dipakai oleh semua perempuan, maka di Perancis perempuan yang mau bersekolah dilarang mengenakan jilbab. Membuat saya berpikir, apakah jilbab sebegitu pentingnya sehingga semua orang repot mengatur apa yang sebaiknya dikenakan seorang perempuan?

Ketika saya saat ini dihadapkan pada kontroversi yang mengemuka di belahan bumi Eropa soal Islam, juga jilbab, saya bertanya-tanya lagi mengenai jilbab dan Islam saya. Sebagian menggambarkan Islam sebagai agama menyeramkan dan mengerikan yang berjalan dengan pedang yang siap menebas semua yang tidak sejalan. Jilbab menjadi penanda teror tersebut. Akan tetapi, ketika kemarin sepeda saya jatuh di tengah jalan dan seorang ibu paruh baya membantu saya dengan penuh senyum, saya menyadari sesuatu. Saya tidak sempat mengingat baju apa yang si ibu tersebut kenakan karena saya terlalu sibuk berpikir alangkah baiknya beliau dan betapa menyenangkan melihat senyumnya. Dan saya yakin, dia menolong tanpa melihat dan berpikir tentang jilbab saya terlalu jauh. Yang dia lihat hanyalah, seseorang membutuhkan bantuan. Dari situ saya berpikir, dari semua simbol yang dikenakan manusia, tidakkah kebaikan adalah simbol yang paling penting untuk kita semua? Kebaikan jadi bahasa universal yang melewati kendala bahasa, mengatasi gesekan agama dan ras dan menjadikan manusia sejajar dengan sesamanya. Dan, alih-alih sibuk menilai orang lain dari apa yang mereka kenakan, mengapa kita tidak sibuk berbuat baik saja? Dengan demikian, ajaran bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin akan diamini oleh orang lain tanpa dipaksa. Dan akan sangat mungkin itu akan menjadi dakwah Islam yang paling indah. Seseorang itu tidak bisa dinilai dari apa yang dia kenakan, apakah dia memakai jilbab atau memakai bikini. Seperti sebuah kalimat yang pernah saya baca, pakaian paling indah itu takwa. Dan takwa itu penilaiannya merupakan hak prerogatif Allah. Wallahualam.

Spread the love