Ketika kita hendak menyatakan janji setia itu, sebuah pesan dari Sang Kekasih berkumandang:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Dan kini, sepuluh tahun telah berlalu.
Sebuah perntanyaan melintas, “Apa yang telah kamu pupuk selama ini? Dan apa yang tumbuh?”
Di antara kita, Sang Kekasih telah berjanji akan menumbuhkan mawaddah (love, affection, cinta) dan rahmah (compassion, pity, sayang). Namun, itu hanya akan tumbuh jika kita telah melakukan tugas kita: memupuk dan menyiraminya.
Ibarat aku sebuah kebun dan engkau adalah mawarnya, dalam sepuluh tahun ini telah kita lalui sepuluh periode musim yang datang dan pergi silih berganti. Sepuluh musim kemarau dan sepuluh musim penghujan. Sepuluh musim gugur dan sepuluh musim semi. Sepuluh musim dingin dan sepuluh musim panas. Kenyang rasanya permukaan kulit kita bersentuhan dengan air deras yang menggerus, dan menyapa terik matahari yang menyengat.
Sepuluh periode musim itu adalah air sekaligus pupuk yang dihadirkan oleh Sang Kekasih untuk menumbuhkan benih mawaddah yang telah Dia tanam. Jauh sebelum kita berjanji, Dia telah disemaikan benih itu ke dalam tanah, seperti telah ditancapkannya batang mawarmu ke dalam kebunku oleh Sang Petani. Kemudian, Dia sirami batang mawarmu dan tanah yang menyelimutimu dengan air dan pupuk, agar kelak tumbuh pucuk-pucuk daun hijau dan bakal bunga mawar dari batangmu.
Tatkala musim kemarau tiba, kering kerontang jiwaku. Batang mawarmu pun tak mendapat air sehingga hampir-hampir saja kau kehilangan kehidupanmu. Namun, Sang Kekasih selalu menyirami kita dengan air kesejukan pada saat yang tepat. Tidak telalu cepat, juga tak tarlalu lambat. Sungguh benar perhitungan yang telah dibuatNya. Sehingga, aku pun bisa mengalirkan makanan melalui akar-akar kecilmu yang baru tumbuh dan belum terlalu kuat itu.
Kadang-kadang, Sang Kekasih melihat kita butuh tambahan zat makanan, karena nutrisi dalam tanahku telah digerus oleh derasnya air musim hujan. Dia taburkan pupuk yang bakal memperkaya kandungan tanahku, dan meningkatkan zat makanan untuk keperluan sel-sel daun dan akarmu. Namun, kau sendiri tahu, bahwa pupuk yang paling baik itu selalu bau, karena berasal dari kotoran kambing dan sapi yang diternakNya.
Tak jarang, aku dan dirimu hampir-hampir tak mampu menerimanya. Bau yang tak sedap, rasa yang tak nikmat, menyelimuti tubuh kita. Keras sekali kita berjuang agar bisa mengunyah dan menelan pupuk itu. Terkadang kita lupa, bahwa pupuk itu lah yang akan menggemburkan tanahku, akan menyuburkan akar dan daun mu, dan melanjutkan kehidupan kita. Sehingga hampir-hampir saja kita kita muntahkan pupuk yang telah disuapkan dengan penuh cinta olehNya. Saat itu kita seperti orang-orang yang tak sadarkan diri. Tak mengenal siapa diri ini, dan tak tahu lagi siapa yang sedang menyirami.
Sebenarnya, cukuplah bagi kita saat itu untuk pasrah menerima segala pupuk, tanpa banyak mengedepankan keakuan dan logika kita. Namun, keakuan dan logika telah menjelma seperti rumput yang tumbuh semakin tinggi, seiring dengan semakin banyaknya pupuk yang kita tolak. Kita semakin tersiksa, semakin sengsara, seperti di neraka. Hingga akhirnya, tiada lagi daya dan upaya yang tersisa, kita pun pasrah.
Dan pada saat itu, mengalirlah bulir-bulir zat makanan dari pupuk yang telah lama diberikan oleh Sang Kekasih ke dalam diri kita. Pada saat itu sadarlah kita bahwa bukanlah akar ataupun daun yang kita pelihara, tetapi rumput yang tiada banyak berguna. Dan pada saat tiada lagi keakuan, tiada lagi rumput yang mencuri zat makanan, tumbuhlah akar-akar yang semakin lama semakin panjang dari batang mawarmu. Pucuk-pucuk daun yang akan menerima Sinar Mentari pun mulai muncul di sana-sini.
Sepuluh tahun, bukanlah waktu yang panjang, bukan pula waktu yang singkat. Namun, sungguh banyak yang telah kita pelajari untuk menumbuhkan akar dari batang mawarmu, agar dirimu menyatu dengan tanah diriku, dan agar diriku mampu menerima pupuk yang akan menjadi zat makanan buatmu. Batang mawar dan tanah yang dulu terpisah, kini telah seperti sepasang lampu dan minyak yang menyatu. Di antara diri mereka telah tumbuh ikatan yang semakin lama (mudah-mudahan) semakin kuat. Itulah ikatan mawaddah, itulah ikatan cinta.
Cinta, sungguh mudah diucapkan. Tetapi cinta sejati, true love, butuh waktu untuk membuktikan. Dia tidak tumbuh begitu saja, namun butuh kesabaran dalam menghadapi datang dan perginya musim-musim itu. Dia juga butuh pengorbanan, yang dengan kerelaan melepaskan keakuan, akan menyerap pupuk kehidupan yang diberikan Sang Kekasih.
Cinta seperti sumber cahaya, yang kelak akan memancarkan cahaya dan kehangatan kepada sekeliling. Cinta seperti parfum, yang kelak akan memancarkan keharuman ke seluruh ruangan.
Sepuluh tahun telah berlalu. Dan kini kita akan menghadapi sebuah periode baru. Sebuah periode dimana Sang Kekasih akan menilai. Tumbuhnya akar dan daun dalam batang mawarmu, belum tentu akan menumbuhkan pucuk-pucuk bunga dan memekarkannya. Kita harus berjuang, agar kelak tumbuh bunga mawar yang harum semerbak di taman ini. Seperti harumnya mawar ini, Dia pun akan menilai apakah Dia akan pancarkan Kasih dan SayangNya bagi alam semesta melalui diri kita.
Ismail Fahmi
Bulan Agustus selalu membawa semangat yang khas bagi setiap warga negara Indonesia. Tidak hanya di…
#Latepost Sangat penting untuk menjaga semangat iman dan takwa pasca Ramadan dan Idul Fitri 2024…
30 Juni 2024. Serunya menghabiskan hari Minggu bersama Ayah! Di kegiatan Pengajian Anak DeGromiest kali…
Alhamdulillah DeGromiest mengadakan salat Idul Adha dan silaturahmi pada tanggal 16 Juni 2024, pukul 07.00-11.00,…
Bismillahirrahmaanirrahiim Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh Marhaban Yaa Ramadhan.. Marhaban Yaa Ramadhan.. tim DeGromiest mengadakan program "DeGromiest…