Diary Ramadhan edisi 7 Ramadhan 1431H

Oleh: Susanah Agus

“… Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-BAqarah; 216)

Semenjak aku kuliah di program studi pendidikan Bahasa Inggris, setiap kali ditanya apa rencana masa depanku, jawabku akan selalu sama: (1) menyelesaikan S1 dengan nulis skripsi dan bukan ujian komprehensif, (2) melamar jadi PNS dosen di almamaterku, (3) S2 di luar negeri, dan (4) menikah setelah selesai S2. Siapapun yang bertanya, selalu kujawab begitu. Bahkan ketika senior yang sangat dekat denganku mencoba melihat kemungkinan untuk menikahiku, akhirnya mengurungkan niatnya karena setiap kali dia bertanya tentang rencana masa depan, jawabanku selalu konsisten. Dia menyadari tak mungkin memintaku menikah dengannya karena bila aku menikahinya kemungkinan aku hanya selesai S1 saja. Dia mencari pasangan hidup yang bersedia menemaninya mengabdi di daerah kabupaten, dan tampaknya aku takkan rela melakoni itu.

Kenapa aku berencana begitu? Menurutku menjadi dosen di provinsi berkembang, seperti daerahku, sangat fleksibel dengan waktu kerja. Pikirku kala itu, dengan jadi dosen aku bisa membesarkan anakku sendiri tanpa pengasuh. Dengan jadi dosen aku lebih berpeluang untuk S2 di luar negeri ketimbang jadi PNS di pemerintahan daerah. Akupun berencana menikah setelah selesai S2 karena sekolah sambil mengasuh anak dan mengurus suami itu tidaklah mudah, sementara S2 itu wajib bagi dosen di daerahku. Jenjang S3 kala itu masih sebatas dianjurkan bagi dosen di daerahku.

Jadilah diriku menata hari-hari sesuai rencanaku itu. Saat akhirnya selesai S1, aku dikaruniai rezeki dari Allah SWT, aku lulus tes dan diterima jadi PNS dosen di almamaterku. Betapa bahagianya aku, dua rencanaku terlaksana dengan sukses. Semakin mantaplah aku dengan rencanaku itu, cari beasiswa S2 di luar negeri dan kemudian menikah. Bagiku rencana itu adalah yang terbaik buatku. Padahal kala itu aku telah menginjak usia 25 tahun, usia yang matang untuk menikah, namun aku tidak berfikir ke arah sana. Aku khilaf pada satu hal, menikah itu lebih mulia dimata Allah SWT ketimbang gelar S2. Aku tenggelam dalam kekhilafan itu selama 4 tahun. Keinsyafan itu baru muncul kala Allah SWT mengujiku dengan kegagalan beruntun.

Demi menggapai rencana ketiga, aku mulai cari informasi sana-sini tentang beasiswa S2. Mengingat diriku lulusan program pendidikan bahasa Inggris, aku memusatkan pencarianku pada universitas-universitas di Negara berbahasa Inggris. Jadilah diriku melamar beasiswa yang ditawarkan pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Aku gak kepikiran untuk mencoba universitas di negara-negara Eropa lainnya. Alasanku kala itu cukup simpel; bahasa Inggrisku gak akan membaik kalo kuliah di negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama.

Beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat dan Inggris rupanya tak berjodoh denganku. Berkali-kali kulamar, tetap saja gagal di proses awal. Angin segar itu datang dari negeri Kangguru. Lamaranku memasuki tahap final tahun 2005. Tapi aku rupanya gagal di tahap itu. Tidak pantang menyerah, kuulang lagi melamar di tahun 2006, masuk ke tahap final. Namun gagal lagi. Yang lebih menyakitkan buatku, dari 4 orang dosen di almamaterku yang ikut tes itu, hanya aku seorang yang gagal. Aku tenggelam dalam duka.

Rupanya bencana tsunami, membuat pemerintah Australia memberikan program beasiswa tambahan, APS. Aku melamar kembali ke sana, dan masuk ke tahap final. Tapi lagi-lagi pil pahit kegagalan harus kutelan. Akupun kembali tertohok dengan kenyataan 3 dari 6 dosen di universitasku menerima beasiswa itu. Kakakku menyarankan kepadaku untuk melupakan rencana S2 di Australia. Menurutnya itu bukan jalanku.

Seorang seniorku menyarankan aku untuk melamar beasiswa StuNed periode 2007. Namun aku malas banget melamar saat kubaca salah satu syaratnya aku harus memiliki surat penerimaan dari universitas dahulu sebelum melamar. Duh.. males banget dech kalo harus cari admission letter. Lagian Belanda tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari.

Tiga kegagalan pahit yang kurasa itu rupanya mulai membuka mataku. Seorang lelaki, yang akhirnya menjadi suamiku, mengajakku berdiskusi tentang apa yang kurang tepat dengan rencana masa depanku. Dia menyadarkanku bahwa pilihanku yang menempatkan menikah di bawah prioritas S2 adalah hal yang kurang baik dari segi agama. Aku melupakan pertambahan usiaku dan sibuk dengan urusan duniawi bernama niat sekolah. Padahal jelas sekali bahwa menggenapkan dien-ku dengan menikah itu lebih mulia dimata Allah SWT ketimbang S2ku. Akupun tersadar bahwa niatku itu kurang tepat. Tidak semestinya niat sekolah menghalangiku dari mengutamakan menikah. Dari diskusi dengannya itulah aku akhirnya mengubah niatku. Aku memutuskan menikah, dan dia yang kupilih sebagai pasangan jiwaku.

Meski orang tua dan saudara-saudaraku kecewa dengan keputusanku melupakan rencana S2 untuk sementara waktu, mereka mengizinkanku menikah. Mereka menyadari bahwa aku yang berhak menentukan jalan hidupku. Akupun menikah di Januari 2007.

Rupanya Allah SWT punya rencana baik atas hidupku. Aku hamil tak lama setelah menikah. Seorang juniorku mengajakku melamar beasiswa pra-registrasi StuNed tahun itu, namun aku menolak dengan alasan aku sedang hamil dan tak bersedia terpisah dengan bayiku bila aku lulus beasiswa itu.

Suamiku mendukung keputusanku. Setelah anakku lahir, akupun kembali diajaknya untuk melihat ke depan. Aku harus segera S2 karena itu syarat wajib sebagai dosen. Karena lamaranku ke beasiswa luar negeri kembali berbuah kegagalan, akupun beralih melamar S2 di dalam negeri. Tapi aku juga iseng-iseng berhadiah ikut melamar StuNed pra-registasi untuk periode 2009. Saat melamar itu aku tak menaruh harapan apapun, aku iseng saja. Tapi tidak rupanya dengan suamiku. Bahkan dia sampai melafazkan nazar untuk keberhasilanku mendapatkan beasiswa itu.

Rupanya inilah rezeki yang Allah SWT persiapkan untukku. Aku mendapatkan suami yang sangat mendukung kemajuan akademis karirku, seorang buah hati, lulus beasiswa StuNed 2009 dan bisa bersekolah di RUG, Groningen, Belanda. Alhamdulillahirrobbil ‘alamin. Meski demi S2 itu aku harus merelakan diri berpisah dengan puteri kecilku dan suamiku selama setahun, namun suamiku ikhlas melepas kepergianku. Baginya, keberhasilanku itu sebagai hadiah atas keputusanku mendahulukan menikah.

Akupun mendapat hikmah dari perjuanganku hingga bisa menjejakkan kaki di Groningen. Persis seperti yang tersirat di surat Al-Baqarah ayat 216; Belanda yang kupikir bukan hal yang baik buat bahasa Inggrisku, rupanya jadi pelabuhan ilmu buatku. Terlebih lagi, mengeyampingkan menikah rupanya hal yang tidak mulia buatku. Justru dengan menikah, Allah SWT membukakan jalan bagi terwujudnya rencanaku.

Spread the love