Scholarship, Ketika Si Pungguk Akhirnya Memeluk Rembulan, Part III

 Avatar

Diary Ramadhan tanggal 3 Ramadhan 1431H

Oleh : Agnes Tri Harjaningrum

Hmm..apalagi yang belum? Oya, tinggal menulis motivation letter. Duh harus ditulis tangan pulak, padahal sejak dulu tulisan tanganku terkenal sebagai tulisan yang paling amburadul diantara teman-teman. Tantangannya kali ini, isi nya harus padat berisi tidak boleh lebih dari 1 halaman, tapi motivasi personal harus tersampaikan. Phf…siap-siap cari kursi dan meja. Setelah aku konsep terlebih dulu isi surat di dalam file komputer, aku pun lantas menyalinnya ke selembar kertas. Srat…sret..srat..sret…selesai. Aku baca ulang isinya, ternyata ya ampuun…ada dua kata salah tulis. Sreet! Terpaksa kuremas kertas pertama, dan kucemplungkan dalam tempat sampah. Tulis lagi…”Waduh pinggir kanannya koq zigzag seperti alur Zebra begini.” Sreet…kertas kedua masuk tempat sampah lagi. Lanjut kertas ketiga, perfect! “Lho…lho tapi setelah dipikir-pikir harusnya bagian ini ga usah ditulis kali ya, ga terlalu nyambung, jadi kepanjangan suratnya.” Sreet….kertas ketiga pun meluncur ke tempat sampah. Lanjut Maang! Adaaa… saja salah-salah kecil yang kubuat sehingga aku harus bolak balik menulis lagi dan lagi mungkin hingga sepuluh kali. Wadaw! Tapi demi sempurnanya surat lamaran beasiswa, ya harus dijabanin lah.

Siip! Semua kelar, foto diri, foto copy pasport, CV, dan persyaratan lain, beres masuk amplop.”Jangan langsung dikirim, diinepin dulu beberapa hari, cek lagi sebelum dikirim,”Pesan suamiku. Betul saja, ternyata, setelah aku cek lagi, ya ampun, aku salah tulis nama alamat rumahku di CV, hanya salah beberapa kata sih, tapi akibatnya bisa fatal kan. Setelah itu, aku inapkan lagi semalam, dan aku cek ulang lagi besoknya. Setelah yakin semua oke, Bismillah, kirim via pos!

Aku mengirim semua dokumen itu kira-kira dua bulan sebelum deadline di pertengahan bulan April. Dan menurut pihak penyelenggara, mereka akan mengumumkan hasilnya di bulan Mei 2010. Menjelang bulan Mei, perutku sudah mules-mules, deg-degan menanti pengumuman. Lalu suatu hari suamiku pulang membawa berita mengejutkan: karena beberapa kondisi kami belakangan ini, pihak bank ternyata tak bisa memberikan uang pinjaman dalam jumlah besar. Glek! Tubuhku seketika lemas. Kalau aku tidak diterima lewat jalur beasiswa ini, aku harus membayar ratusan juta rupiah ke KIT, sementara pinjam ke bank yang selama ini jadi andalan pun tak bisa. Artinya, jalur beasiswa ini hanya harapan satu-satunya untuk sekolah! Artinya, kalau tidak dapat beasiswa, aku terancam batal sekolah karena tak sanggup membayar. Oh Nooo! “Ayaah, aku bisa gila kalau selama dua tahun menunggu kepulangan ke Indonesia aku hanya di rumah! Aku sudah lelah Yah, sangat lelah!” Aku meradang.

Dalam kepalaku segera bermunculan bayangan-bayangan bila aku tak jadi sekolah. Hah, berdiam saja di rumah? Sudah tak ada lagi naskah yang harus kutulis, tak ada lagi yang bisa kukerjakan, hanya memasak, belanja, beres-beres rumah, fesbukan, lalu menunggu anak dan suamiku pulang? Padahal anak-anakku pun sudah besar. Mereka bisa main sendirian, dan kadang hanya membutuhkanku saat makan malam, mengaji, bercerita serta saat berpelukan sebelum tidur sebagai ritual. Si sulungku bahkan sudah bisa memasak nasi dan goreng telur sendiri. Mereka sudah terbiasa menyiapkan sarapan pagi dan membuat roti sendiri. Lalu otakku? Bagaimana dengan otakku? Akan keriput membeku, kaku-kaku dimakan usia yang bertambah satu-satu? Mungkin orang lain bisa, tapi aku tidak! Aaarggh! Membayangkannya dadaku sesak, kepalaku berat dan aku ingin berteriak!
Hari-hariku menjadi begitu kelabu. Karena pihak penyelenggara tidak menyebutkan tanggal pasti kapan mereka akan mengumumkannya, aku semakin tersiksa. Setiap hari hampir beberapa menit sekali aku selalu mengecek email, melihat kalau-kalau sudah ada pengumuman. Tidurku tak nyenyak, makan pun tak enak. Keinginan menggebu untuk sekolah yang selama tiga tahun kupendam dan kuupayakan, sekarang nasibnya berada di ujung tanduk. Aku seperti pesakitan menunggu palu hakim diketukkan.

Wajahku berkerut-kerut, senyumku senyum palsu. Anak-anakku pun tahu. “Bunda, kenapa bunda bibirnya gini, ga gini.” Kata bungsuku sambil menarik kedua ujung bibirnya ke atas lalu ke samping. .”Bunda harus heppiiii…” katanya lagi. Suamiku tak kalah pusing melihat kelakuanku yang seringnya hanya diam dan diam. “Bagaimanapun Mama harus sekolah,” katanya prihatin.”Kita jual harta satu-satunya yang kita punya di Indonesia?” tanyanya pelan. Aaaarggh! Kepalaku rasanya makin senut-senut. “Hanya demi ambisiku lantas kita menjual masa depan? Hmh…Kenapa aku seperti ini ? Kenapa harus ada keinginan sekolah seperti ini dalam hatiku? Kenapa aku tidak seperti orang lain saja, yang dengan ikhlas bisa diam di rumah, menikmati hidup tanpa beban apa-apa, membesarkan anak-anak dan mengurus suami, titik. Kenapa hatiku terus bergejolak dan memanggil-manggil untuk sekolah. Andai aku bisa, ingin kubuang semua rasa ini, kubuang saja sejauh-jauhnya, supaya aku tak tersiksa. Tapi kenapa rasa ini harus ada?” Hiks hiks… Di awal bulan Mei itu hampir setiap hari air mataku menetes, rasanya hatiku sudah retak-retak dan tak jelas lagi bentuknya.

Kuhibur-hibur diriku, kucari-cari bacaan bermutu, kupanjangkan sujudku memohon agar Ia meringankan bebanku. Hingga akhirnya aku membaca kembali kata-kata Rumi berikut ini: “Everyone has been made for some particular duty, and the desire for that particular duty has been put in every heart.”

Bukan salahku kan Tuhan, hingga aku memiliki keiinginan ini? Engkau yang menitipkannya dalam hatiku kan Tuhan? Aku sudah memohon diluruskan berkali-kali, jadi rasa itu dariMu kan Tuhan? Lalu mengapa aku harus tersiksa. Tolong ikhlaskan aku, tolong beri kelapangan hati agar aku tak seperti ini Tuhan. Batinku mengadu.

Hari berlalu, pelan-pelan aku lalui semua itu. Aku mencoba berdiri dan tersenyum lagi. Hingga bulan Mei tinggal sepekan lagi, pengumuman itu belum kudapatkan juga. Pasti di minggu ini akan kudapatkan hasilnya, pikirku. Dan aku pun kembali tersiksa. Pikiran-pikiran buruk kembali menyergapku. Bagaimana kalau aku tak diterima? Kenapa aku tidak melapangkan hati saja, diam di rumah dan tak usah mimpi macam-macam. Apakah sebaiknya memang kujual saja harta satu-satunya? Aah gila! Masa hanya gara-gara sekolah master aku harus melepaskan uang ratusan juta? Lagipula mana mungkin menjualnya hanya dalam waktu dua bulan? Imposible! Ya, mungkin aku harus menerima untuk diam di rumah saja, tidak melakukan apa-apa. Hiks..hiks Pikiran-pikiran itu berlompatan seperti monyet nakal, dan aku pun terjerat dibuatnya. Aku kembali menjadi manusia abu-abu, tanpa nafsu. Keputusasaan, kegundahan, dan harapan, campur aduk jadi satu.

Aku berdoa lagi, memohon dilapangkan hati dan mencari-cari lagi bacaan bermutu yang bisa meringankan hati. Sehingga kemudian aku membaca lagi tulisan kang Zamzam yang berjudul Keghaiban hari Esok dari sebuah blog kesukaanku.

Bukankah sejarah pernah bercerita tentang Musa, yang terkepung di laut merah, tak tahu apa yang akan terjadi, tak tahu pertolongan Allah macam apa yang akan turun? Padahal air laut merah sudah seleher kepala kuda tunggangan, padahal tentara Firauan sudah semakin mendekat di belakang. Dan bahkan Musa pun, tak pernah tahu akan masa depan. Ia dan pengikut-pengikutnya sudah nyaris tenggelam, ketika kemudian seketika Allah membukakan jalan, ketika lalu seketika Laut merah pun terbelah!

“Masa depan adalah kotak Pandora, dan keghaiban hari esok adalah bagian dari palu Allah yang dipergunakan-Nya untuk menempa dan membentuk jiwa kita.”

” Tenanglah, karena kita berada dalam genggaman Sang Maha Sutradara yang Sangat Terpercaya. Tidak ada yang perlu kita khawatirkan, semua sudah diukur-Nya dengan rapi. Kita hanya melompat dari keadaan “nyaris” yang satu ke “nyaris” yang lain. Semakin tebal tabungan “nyaris” kita, semakin terbukalah Wajah-Nya yang Maha Indah. Hati kita mungkin dibuat-Nya remuk, tapi bukankah Allah swt mengatakan, “Carilah Aku di antara para hamba-Ku yang remuk hatinya”.

Kuteguhkan lagi dan lagi dalam hati bahwa aku hanya melompat dari ‘nyaris’ yang satu ke ‘nyaris’ yang lain, bahwa aku berada dalam genggamanNya. Bukankah pengalamanku sebelum-sebelumnya juga berkata sama?
Meresepasinya, aku kembali tenang, meski keesokan harinya, ketika lagi-lagi belum juga ada email pemberitahuan kudapatkan, aku kembali gelisah. Lalu kali ini aku coba membaca lagi pidatonya Steve Jobs, CEO perusahaan Apple saat bicara di depan mahasiswa universitas Stanford.

“Anda tidak akan dapat merangkai titik dengan melihat ke depan; Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke belakang. Jadi, Anda harus percaya bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai di masa mendatang. Anda harus percaya dengan intuisi, takdir, jalan hidup, karma Anda, atau istilah apa pun lainnya.”

Aku lalu berkata pada suamiku, “Kalau ngikutin teorinya Steve Jobs dan melihat kebelakang, ada titik dimana aku sangat ingin sekolah dan berusaha, ada ramalan si nyonya, ada titik dimana pintu beasiswa mendadak terbuka, ada titik dimana sang tamu dihadirkan untuk membantuku menulis research thesis proposal. Mestinya, titik selanjutnya, aku keterima ya Yah,” Kataku kegeeran.” Dan kalau ingat kisah Musa, semua hanya nyaris-nyaris saja dan akan baik-baik saja pada akhirnya Kenapa aku masih khawatir ya Yah?” Pertanyaan retoris yang sebetulnya jawabannya sudah nyata. Tentu saja, namanya juga manusia. Tak ada yang simsalabim di dunia ini, semua harus melalui proses.

Dan semua kumpulan nasihat-nasihat itu menjadi proses perenunganku. Rasa-rasa yang muncul di dalamnya membuatku seperti naik Roller coaster, kadang naik mendebarkan, kadang turun dalam keputusasaan dan berliku dalam kegamangan. Akhirnya, ketika penghujung bulan Mei tiba, dan aku belum mendapatkan kabar apa-apa meski aku sudah mengontak sekretarisnya, seharian itu aku lalu menangis sejadi-jadinya. Aku sudah lelah dalam penantian panjang. Aku bilang pada Tuhan, ya Allah..apapun keputusanMu aku hanya mohon diikhlaskan dan dilapangkan. Segala rasa yang tersimpan sejak tiga tahun ke belakang dan puncaknya selama hampir satu bulan di bulan Mei, seperti habis-habisan kukeluarkan dalam airmataku yang tumpah tak tertahan. Rasaku menjadi sirna, tiada.

Esoknya aku merasakan keajaiban, aku menjadi merasa sangat ringan, seperti terbang. Tiba-tiba saja, tak ada lagi kekhawatiran. Tiba-tiba saja aku bisa berkata,”Sudahlah, aku hanya berjalan, apapun keputusannya, aku tidak bisa memaksa Tuhan. Bukankah sejatinya sebagai manusia aku hanya cukup menyaksikan dan memainkan peran.” Tiba-tiba saja beban berat itu pun hilang dan aku kembali riang. Alhamdulillah…sepertinya doaku untuk mohon kelapangan hati didengar, sepertinya disaat-saat kelabu itu Allah mengajariku apa arti kepasrahan dan keikhlasan.

Keesokan harinya lagi, aku mendapat kabar dari sang sekretaris bahwa, pengumuman hasil seleksi ditunda dan akan diumumkan di awal Juli. Hm…kali ini mungkin Allah hendak mengajari aku lagi tentang kesabaran. Dan tampaknya, air mata di hari terakhir bulan Mei itu betul-betul seperti air mata terakhirku. Membaca email dari sang sekretaris, tak membuat hatiku merasa apa-apa. Hatiku yang sebelumnya seolah retak-retak kini menyembuh dan kembali utuh.

Hari-hari selanjutnya kulalui kembali dengan warna. Dunia abu-abu seolah tertiup angin topan, menghilang dari kehidupan. Hingga akhirnya pada tanggal 16 Juni 2010 ketika pagi-pagi aku mengecek email, aku melihat ada email dari sang sekretaris program beasiswa. Subjeknya : tropEd Erasmus Mundus Selection 2010/2011. Aku membatin,”Ngapain nih si ibu kirim email tengah bulan, kan pengumumannya katanya baru awal Juli.” Sama sekali tak ada rasa deg-degan ketika mengklik email tersebut karena aku yakin hasil seleksi memang baru akan diumumkan di awal Juli sesuai pemberitahuan terakhir. Aku baca kata-kata itu terbata-bata, “Dear Agnes, With this email I would like to inform you that you have been selected by the Concsortium selection Committee for the 2010/2011 Erasmus Mundus scholarship for the tropEd European Master of Science Programme.” Aku baca lagi lanjutannya, masih ada pemberitahuan soal harus menunggu konfirmasi dari European Comission sebelum akhirnya aku akan dikirimi official scholarship acceptance letter . Aku jadi ragu-ragu. Maksudnya apa sih? Aku keterima ya? Bener ya aku keterima? Mendadak aku jadi seperti anak TK yang kebingungan baru belajar membaca. Sampai-sampai aku kirimkan email itu ke suamiku.”Yah baca deh, ini maksudnya aku keterima ga sih?” Suamiku sampai terbengong-bengong mengabari aku,”Ya ampun Mama, koq pake tanya, udah jelas gini lho, Mama keterima, cuma tinggal nunggu surat resmi pernyataan diterima aja!” Suamiku tertawa-tawa. Tinggal aku yang bengong masih tak percaya. Ya Allah, aku benar-benar diterima!

Dalam sujud syukurku, aku menangis tersedu. Ya Allah…janjiMu benar, janjiMu tak pernah palsu hiks hiks. Terimakasih Tuhan. Ampuni aku yang kadang masih sering ragu. Ajari aku agar tak lagi ragu. Tegakkan hatiku, setegak tongkat Musa, yang sungguh percaya bahwa Engkau tak kan pernah meninggalkannya. Di atas sajadah itu aku tergugu, tak kuasa menahan syukur dan haru. Segala puji hanya untukMu Tuhan. Akhirnya…aku tak lagi menjadi pungguk yang merindukan rembulan.

Dan kini ketika surat resmi pernyataan permohonan beasiswaku sudah betul-betul hadir di depan mataku, aku hanya bisa memandangnya terpaku. Rasanya, aku kian mengenali pola-pola kehidupan yang mestinya merupakan hukum alam. Titik-titik ala Steve Jobs itu, kisah Musa, kotak pandora, dan lompatan ‘nyaris’ yang satu ke ‘nyaris’ lainnya, itulah pola-pola kehidupan yang sejatinya juga terjadi pada setiap manusia.

Tuhan, kini telah kubuktikan sendiri bahwa janjiMu benar. Engkaulah yang telah menyelipkan keinginan kuat dalam hati, Engkau pulalah yang telah mengerahkan semesta membantu agar semua terealisasi. Aku hanya nyaris tidak diterima. Aku hanya nyaris tidak sekolah. Ketidak pintaran, usia dan ketiadaan harta sungguh bukanlah penghalang, yang penting adalah usaha keras, iman dan keyakinan. Kalaulah ada kesulitan di dalamnya, Engkau pula yang kemudian memberi kemudahan.

Hari ini aku menyaksi, betapa Tuhan tak pernah berdiam diri. Mimpi-mimpi yang bermuara dari hati, yang dicari dengan sepenuh hati , sesungguhnya adalah tugas diri sebagai jalan menuju pengabdian sejati!

Diemen, Juni 2010
Agnes Tri Harjaningrum

Spread the love
        
  

8 responses to “Scholarship, Ketika Si Pungguk Akhirnya Memeluk Rembulan, Part III”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen − seven =

Chat dengan pengurus deGromiest!
#
Agent (Online)
×

Kami di sini untuk membantu. Ngobrol dengan kami di WhatsApp untuk pertanyaan apa pun.