Diary Ramadhan – Edisi 2 Ramadhan 1433H
Oleh: Yusuf Abduh
Pagi itu seperti biasa, hujan turun di pagi hari. Yang tidak biasanya adalah setiap hari hujan turun di musim panas, dari pagi sampai ke sore, dari siang sampai ke malam. Langit gelap, anging kencang. Matahari tersipu-sipu malu, bersembunyi di balik awan hitam. Iskandar kembali menarik selimut, berharap bisa menghangatkan tubuhnya dan menikmati suasana pagi yang mendung, untuk beberapa saat lagi, sebelum jam locengnya berbunyi.
Musim panas kali ini memang berbeda dari biasanya. Panas dan cerah bertukar menjadi dingin dan gelap. Tidak ada baring-baring dan guling-guling di taman, tidak ada acara berjemur.  Aktivitas memanggang daging, tidak lagi di ruang terbuka sambil menikmati hangat matahari dan hijau rumput, tapi pindah ke ruang tertutup sambil ditemani rintik hujan dan hitam asap yang berkepul-kepul. Antusias sebuah musim panas berubah menjadi diskusi pemanasan global yang menjadi biang keladi sepinya pesta musim panas tahun ini.
Tapi, ada hal yang bisa disyukuri, setidaknya buat komunitas Muslim di Barat yang harus berjuang kuat, menahan lapar dan dahaga selama hampir 18 jam, berpuasa di musim panas. Curah hujan seolah menjadi rahmat, membawa pergi pandangan-pandangan yang bisa menguras energi  untuk menahan nafsu. Hujan seolah menjadi alasan yang tepat untuk menghindari ajakan teman-teman untuk berpesta. Alhamdulillah, turun hujan membawa seribu satu rahmat.
Musim panas kali ini memang berbeda, tapi justru karena itu, Iskandar tidak sabar untuk memulai 1 Ramadahan di musim panas yang basah ini. Tapi itu besok, hari Sabtu. Hari ini Iskandar masih ingin baring-baring dan guling-guling, menikmati pagi hari yang dingin dan mendung.
“Kring…kring…kring…â€
Iskandar mengumpulkan sepenuh kekuatan untuk mematikan jam loceng. Jam 6 pagi. Dengan penuh perjuangan, Iskandar membawa dirinya keluar dari kehangatan selimut yang telah membungkus dirinya setelah selesai menunaikan solat subuh. Iskandar mengangkat kedua tangannya, tinggi ke atas, menarik nafas dalam-dalam, menahan beberapa detik dan menghembuskannya kuat-kuat.
“Semangat†jerit Iskandar, rutin motivasi di pagi hari.
Seperti biasa, Iskandar akan ke dapur, memasak nasi dan menyiapkan makanan untuk hari itu, hari Jumát. Menu sarapan untuk hari itu adalah nasi dan ikan. Menu makan siang juga nasi dan ikan. Menu makan malam juga nasi dan ikan. Satu menu yang sama untuk sepanjang hari, untuk seorang Iskandar yang malas ke dapur berkali-kali dalam satu hari. Cukup sekali, untuk satu menu, sepanjang hari. Setelah selesai masak, Iskandar ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk ke kampus.
Pagi itu, Iskandar menikmati sarapan terakhirnya dengan perlahan-perlahan. Melihat rintik hujan sambil meminum secangkir teh hangat. Hari yang produktif dimulai dengan asupan gizi yang cukup saat sarapan. Buat Iskandar, nasi dan ikan yang dimakannya akan cukup memberinya energi sebelum tiba waktu makan siang, nasi dan ikan.
Hujan masih turun rintik-rintik saat Iskandar berangkat ke kampus, dan masih rintik-rintik saat waktu makan siang tiba. Suasana di kampus, sepi. Banyak yang sedang berlibur. Hanya ada beberapa mahasiswa yang masih setia berteman dengan alat-alat gelas dan reaktor di laboratorium. Hari ini, Iskandar masih belum melihat teman-teman Indonesianya yang lain. Teman-teman yang menemani kehidupannya sehari-hari, berjibaku dengan adat dan budaya yang berbeda di kota Groningen, sebuah kota kecil di utara belanda. Sebuah kota yang teramat sangat sepi kalau bukan karena ada ribuan mahasiswa yang berjuang keras, berusaha mendapatkan sehelai kertas. Kertas sakti yang diharapkan dapat memberi masa depan yang cerah dan mendapatkan hidup yang layak. Dan karena kertas itulah, Iskandar mempunyai teman-teman sebangsa, setanah air, di kota antah-berantah seperti Groningen.
Iskandar coba mencari Mas Miftah dan Mas Arief, teman satu laboratoriurm, berharap bisa makan siang bareng, di hari terakhir, sebelum 1 Ramadhan tiba. Susi dan Muhammad, terman dari Indonesia juga tidak ada di kantor. Sunyi sepi.
“Ke mana ya semua orang?†tanya Iskandar. Mungkin mereka sudah pergi makan terlebih dahulu, fikir Iskandar. Akhirnya, Iskandar memutuskan untuk menikmati makan siangnya di kantor sambil menganalisa data.
“Bismilahirrahmanirrahim†Sesuap demi sesuap, Iskandar merasakan nikmatnya makan siang terakhirnya di hari Jum’at, di sebuah musim panas yang basah. Tiba-tiba, terlihat sosok Mas Miftah dari balik jendela pintu.
“Ke mana saja Pak? Tadi saya cari mau ajak makan siang barengâ€
“Kang Is tidak puasa? Hari ini kan 1 Ramadhanâ€
“Apa?†tanya Iskandar seolah tidak percaya. Nasi dan ikan yang belum selesai dikunyah 40 kali, tersembur keluar, menghiasi layar komputer 24 inci yang ada di hadapannya.
“Bukannya besok, hari Sabtu?†Iskandar coba untuk klarifikasi.
“Itu di Indonesia, kang. Kita ini di Groningen….Gro-ningen. Mulai puasanya hari iniâ€
“Oh ya?†Iskandar masih sulit untuk mecerna informasi yang baru didapatkannya. Bagaimana tidak, baru beberapa saat yang lalu, Jumát siangnya masih seperti biasa, menikmati nasi dan ikan. Dan sekarang, segalanya harus berhenti, karena hari ini 1 Ramadhan.
“Kenapa saya tidak tahu ya?â€
“Walah, walah…ke mana saja, Kang. Layar komputernya sudah 24 inci, masa tidak bisa baca email? Coba,  emailnya dibacaâ€
“Jadinya 1 Ramadhan hari ini, bukan esok?â€
“Iya, hari ini. Titik.â€