Diary Ramadhan edisi 2 Ramadhan 1432H
Oleh: Rifki Furqan
Walaupun selama tahun lalu aku cukup jarang ke mesjid, namun dengan cepat aku rasakan bahwa mesjid disini terlalu kosong. Bukan, bukan ingin membanding-bandingkan kondisi yang jelas berbeda. Jangankan membandingkan Oldenburg dengan Langsa, Aceh ataupun Indonesia pada umumnya yang memang kebanyakan mengaku muslim. Istanbul yang aku kunjungi akhir tahun lalu saja sudah menunjukkan perbedaan suasana beribadah secara gamblang di Eropa daratan pada umumnya.
Semalam adalah tarawih pertama tahun ini. Entah karena masih gegar budaya yang menyebabkan lupa, atau pula karena memang sudah cukup lama aku menghabiskan malam tarawih pertama tidak di kampung halamanku, Langsa. Begitu banyak ceremonial semalam. Berbagai sambutan muncul berlomba menghabiskan waktu sebelum tarawih dimulai. Entah apa esensinya, aku pun hanya mencoba mengingat-ingat ke-efektif-an hidup selama setahun belakangan.
Tepat hari ini di tahun lalu adalah hari perwujudan mimpi, persiapan terbang lintas benua. Setelah hari itu, berbagai pengalaman yang mengubah sudut pandang mulai bermunculan. Tidak perlulah dibanding-timbangkan hal yang jelas berbeda, cukup ambil hikmahnya saja. Hidup di negara subtropis dengan fluktuasi suhu tak menentu tidak pernah sama rasanya dengan suhu tropis yang tak memerlukan prakiraan cuaca dengan tingkat ketelitian dalam satuan jam. Beribadah dalam negara yang tidak mencantumkan agama dalam data kependudukannya pasti berbeda dengan suasana ibadah di negeri yang telah dibebaskan untuk menerapkan syariat Islam dalam kesehariannya. Keduanya memberikan warna pada catatan perjalanan hidupku, sebagai rasa syukur dan bekal perjalanan selanjutnya.
Sudah beberapa hari ini aku memperhatikan perubahan, atau lebih tepatnya penyesuaian-penyesuaian budaya kembali. Mulai dari ziarah kubur sebelum puasa, duduk-duduk di warung kopi, rasa bingung kembali dengan jalan di sebelah kiri, diserobot antriannya di kantor pos maupun sempat berhenti ketika lampu jalan berwarna merah dan menjadi aneh sendiri. Semuanya kadang membuatku senyum-senyum sendiri. Owh, sudah lebih kaya rupanya pengalaman yang tak terasa membentuk diri ini.
Agenda sebulan ini jelas, meningkatkan ibadah puasa dan silaturahmi alias berbagi. Tidak ada imsak jam 4 buka jam 10 malam tahun ini. Keprihatinan menu berbuka tahun lalu akan tuntas terbalaskan tahun ini. Tapi, jujur saja aku rindu dengan perjuangan kami tahun lalu. Berjuang melawan dingin suhu yang kadang dibawah 10 tapi terbayarkan dengan lantunan khidmat bacaan sholat imam asal Yaman yang Arabnya lebih Arab dari orang Arab. Tidak ada lagi tahun ini, sempit-sempitan di mesjid yang sebenarnya rumah itu. Tidak perlu serong kanan atau kiri dalam berdiri membentuk shaf sholat seperti tahun kemarin yang dua shaf normal terpaksa menjadi tiga shaf untuk mengakomodir jama’ah yang ingin merebut sebanyak-banyaknya berkah Ramadhan. Semalam pemandangan laki-laki bersarung dan berpeci dengan baju kokonya menggantikan memori jaket plus syal tebal terbalut dileher, tanpa sarung plus kaus kaki yang tidak boleh bau dan harus hangat tahun sebelumnya. Ah, terlalu kosong rasanya mesjid disini.
Tahun lalu aku pernah jalan kaki hampir sejam disuhu mendekati satu karena melewatkan jadwal Bus yang tepat waktu. Ketika itu aku kurang memperhitungkan dan memutuskan untuk witir dulu. Tak begitu lama kami tiba di Eropa, beberapa temanpun tumbang dan kalah melawan fluktuasi suhu yang cukup menyiksa bagi tubuh tropis yang pertama kali menghirup udara bebas polusi Eropa. Tak lama memasuki Ramdhan terlama dalam hidupku tahun lalu, aku pun merelakan satu hari puasa yang telah dengan suksesnya aku bayar di winter kemarin, dengan diskon jam berlipat-lipat, imsak jam 8 pagi dan berbuka di pukul 4 sore.
Pembicaraan dalam Bus dan ketika istirahat kursus bahasa bermalam-malam lalu terganti dengan debat kusir di warung kopi dengan teman-temanku semasa sekolah dulu. Kopi hitam, sanger dingin maupun teh tarik menjadi pilihan minuman teman berbantah-bantahan, mengorek mimpi-mimpi yang tertunda, serta bumbu cerita nostalgia sekaligus menertawakan masa lalu yang serba berbeda dengan „anak jaman sekarang“. Begitu kami mencoba menarik garis pembeda generasi muda di Langsa ini.
Teman-temanku ini, hampir semuanya sudah memiliki seragam dan nominal uang tiap bulannya. Tapi, dari beberapa cerita yang mereka aku-kan maupun pendapat yang aku utarakan, kami sepakat dengan peran dan keinginan kami masing-masing. Dengan dunia yang telah kami pilih dan masuki beberapa tahun lalu. Teman-temanku ini rasanya terlalu muda untuk menggadaikan mimpi-mimpi besarnya dengan meja kerja, untuk jam kerja yang bisa datang sesuka hatinya di pagi hari tetapi berlomba paling cepat selesai di sore harinya. Sia-sia saja rasanya energi dan idealisme masa muda mereka!
Tidak ada yang salah dengan mereka. Sistemnya yang salah, begitu pembelaan mereka. Aku memakluminya karena itulah alasan utama pemuda Indonesia, menyalahkan sistem. Lalu bagaimana denganku yang telah setahun lamanya menjalani sistem berbeda di negara mapan dan berbudaya di Eropa sana? Semoga saja nanti aku bisa menggabungkan berbagai pengalaman dan sudut pandang berbeda itu dalam suatu kerangka yang mendekati sempurna, jika kesempatan itu ada..
Selamat berpuasa kawan, selamat berlomba menyempurnakan ibadah kita.
Langsa, 1 Ramadhan 1432 H
Assalamualaikum, allemaal! Alhamdulillah bulan November ini Allah SWT karuniakan kemampuan kepada kita untuk kembali menjalankan…
Assalamu'alaikum, allemaal ✨ Alhamdulillah, Oktober menjadi bulan yang penuh berkah bagi komunitas DeGromiest. Berbagai kegiatan…
Assalamualaikum, allemaal! September ceria...September ceriaaa Alhamdulillahirabbil 'alamiin, atas izin Allah, bulan September 2024 ini memuat…
Bulan Agustus selalu membawa semangat yang khas bagi setiap warga negara Indonesia. Tidak hanya di…
#Latepost Sangat penting untuk menjaga semangat iman dan takwa pasca Ramadan dan Idul Fitri 2024…
30 Juni 2024. Serunya menghabiskan hari Minggu bersama Ayah! Di kegiatan Pengajian Anak DeGromiest kali…