Diary Ramadhan – Edisi 10 Ramadhan 1433H
Di bulan Ramadhan ini, kita menyaksikan sebagian rekan-rekan kita yang telah menyelesaikan studinya atau sekedar liburan bersiap atau bahkan sudah tiba di tanah air. Â Hal ini menjadikan saya teringat akan pengalaman sendiri ketika tiga bulan lalu pulang ke Indonesia dalam rangka ambil data. Sama persis juga ketika tahun lalu berangkat dari Jakarta menuju Groningen. Pengalaman berangkat dari Jakarta ke Groningen atau sebaliknya selalu meninggalkan perasaan yang campur aduk, antara sedih dan senang karena meninggalkan atau bertemu dengan keluarga. Â Namun satu hal yang membuat saya sibuk yaitu persiapan keberangkatan itu sendiri.
Saya begitu sibuk dengan daftar bawaan yang mesti di bawa. Â Tahun lalu, saya selalu rajin berkirim email pada senior, menanyakan barang-barang apa saja yang mesti di bawa dari Indonesia. Masih segar dalam ingatan, berpanas-panas di bulan puasa dalam rangka mencari jaket musim dingin di bogor. Sudah lumayan jauh, tidak dapat pula jaket yang diinginkan. Â Yang paling riweuh justru ketika tiga bulan lalu. Â Rela pergi jauh-jauh ke Amsterdam dalam rangka mencari oleh-oleh yang murah juga di jalani. Berbagai daftar titipan juga sudah di siapkan. Borong coklat dan keju di ah atau lidl pasti tidak ketinggalan. Kado istimewa buat keluarga apalagi. Mendekati hari keberangkatan, saya harus makin siap, pamitan ke sana ke mari dan tidak lupa titip doa. Pas hari-H, jangan sampai telat di bandara. Minimal 2 jam sebelum keberangkatan sudah harus absen ke petugasnya.
Padahal jika di pikir-pikir, keberangkatan itu kan sifatnya belum pasti. Biasanya memang jadwal penerbangan sudah tetap tapi ada saja delay yang mungkin pernah kita alami, seperti pengalaman balik ke Groningen dengan emirates yang tertunda selama 2 jam. Bahkan pernah saya baca di koran ada penerbangan yang di batalkan. Jadi tidak ada yang bisa menjamin 100% bahwa kita pasti berangkat pada hari dan jam yang telah di tentukan. Namun, ada satu keberangkatan yang sifatnya pasti: kematian. Walaupun kita tidak mengetahui kapan jadwal ‘berangkat’ kita tetapi itu pasti sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam (QS. al-Ankabut (29): 57):’Semua yang bernyawa pasti akan mati’. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan’.
Jika dalam keberangkatan ke Jakarta atau Groningen sudah begitu sibuk, saya pribadi merasa persiapan keberangkatan ke kampung akhirat masih jauh dari kurang. Walaupun masih tetap sholat 5 waktu, tapi tidak tahu bagaimana kualitasnya ya? ? Sedekah masih sedikit, paling kasih recehan pas ada kotak amal di masjid maroko yang ketika recehan itu menyentuh dasar, bunyinya bikin malu. Tilawah quran jarang-jarang, apalagi hafalan quran masih bisa dihitung dengan jari, ga ada penambahan yang signifikan. Belajar bahasa inggris belum becus, apalagi bahasa arab dari dulu belajar putus sambung malah akhirnya ga bisa-bisa. Berangkat haji belum pernah, sholat tahajud bablas terus. Beli oleh-oleh sampai Amsterdam sana sanggup dan semangat, eh giliran ada jadwal pengajian deGromiest, saya seperti mengayuh sepeda dengan beban 100 ton.  Tapi kalo ada jadwal makan-makannya ya bisa dipertimbangkanlah….:D
Saya jadi khawatir apakah dengan bekal sekedarnya ini sanggup mengantar saya ke kampung akhirat ketika jadwal keberangkatan saya tiba. Allah berfirman ……dan berbekallah, karena sebaik-baik bekal itu adalah takwa. (Al-Baqarah (2): 197). Tapi sekali lagi apakah bekal takwa saya ini mencukupi untuk mendapatkan tiket surga? Orang yang keliatan baik belum tentu masuk surga, begitu juga sebaliknya, orang jahat masih ada kesempatan untuk mendapatkan surga. Jadi saya masih menyimpan harapan bahwa semoga Allah akan memberangkatkan saya dengan bekal minimal agama Islam yang saya miliki. ….’dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan tunduk (Muslim)’ (Ali Imran (3): 102).
10 Ramadhan 1433H/29 Juli 2012
Menjelang sahur