Waktu sholat Jumat yang lalu karena saya ndak paham bhs arabnya, saya cuma menanangkap pesan soal pemimpin saja. Rasanya bacaan waktu sholat yang lebih ‘menyejuki’ kekeringan jiwa ini. So, terimakasih Bang udah memuatnya di Cafe. Tadinya tulisan ini komentar bagi artikelnya Bang Fahmi. Tapi karena kepanjangan, biar enak dibaca dengan font besar, aku upload jadi artikel saja.
Jadi, kita bicara soal anak nih?
Sebenarnya ini mudah sekali. Benarkah? Buktinya? Kalau untuk menguasai bahasa Belanda, technical writing, presentation in English etc kita bela2in ikut kursus, nah, giliran untuk mendidik anak, kita tidak perlu kursus. Seolah hal yang mudah, sehingga biar berjalan dengan sendirinya.
Nah, yang sering terjadi malah sebaliknya.
Kalau ada masalah dg bahasa, writing, dll tsb kita bisa dengan mudah melakukan improvisasi, atau kalau ada kesalahan tidak akan fatal, namun kalau sang anak bertanya dengan polosnya “Ayah, Tuhan itu mana sih? Kok aku tidak melihat?” bingung juga menjawabnya. Mau improvisasi? Ya, itu yang kita lakukan. Kalau ternyata jawabannya tepat, akan terpatri di kepala anak dengan benar. Nah, kalau ternyata jawabannya salah? Itu juga yang akan diinget sama anak.
Jadi, fatal mana kemampuan berbahasa Belanda atau kemampuan menjawab pertanyaan2 anak? Mudah mana?
Ini mas Amal pasti bisa jawab. Soalnya aku belum kursus bahasa Belanda 🙂
Pernah sampai ke telingaku, bahwa pendidikan keimanan bagi anak, sesungguhnya yang paling dominan dan menentukan terjadi ketika mereka belum baligh. Ketika berumur -9 bulan hingga 11 tahunan (baligh).
Why? Waroom?
Karena pada usia itu, jiwanya masih bersih, alamnya masih dekat sekali dengan alam malaikat sang pendamping jiwa baik manusia, makanan belum banyak mempengaruhi jiwa dan jasadnya, informasi dari luar juga belum menutupi hati dan pikirannya, dan mereka masih dekat dengan orang tuanya, bukan dengan temen2nya.
Nah, kalau sudah baligh, sudah bisa diajak bicara dengan logika, biasanya jiwa dan jasad mereka udah mendapat banyak kontaminasi dari luar. Kalau saat itu kita baru berusaha mengeluarkan banyak biaya untuk sekolah, ngaji, kursus, nasehat, dll.. bukankah cukup terlambat?
Nah lagi (suka benget sih dengan Nah), bagaimana bentuk pendidikan keimanan bagi mereka sejak dini? Bagaimana mereka meresponnya? Apa yang penting kita ketahui?
Apa jawabnya ya?
Gimana kalau ntar kita adain semacam “Parenting Club”? Siapapun yang berminat bisa hadir, khususnya calon orang tua dan para orang tua deGromiest yang ada di Groningen. Pengalaman mas Amal, Bang Fahmi, Mbak Sari/Mas Dody.. mbok yo ntar dishare ke orang2 seperti saya ini. Biar bisa belajar yang sudah pengalaman, begitu..Rojer.