Diary Ramadhan – Edisi 11 Ramadhan 1432H
Ditulis ulang oleh : Tessa Sitorini
Pengajian Serambi Suluk :::Â Disampaikan oleh : Zamzam AJT
Bintaro, 14 Mei 2008
Dalam Hadis Shahih Muslim dikatakan ada 3 pilar Ad Diin – yang sering diterjemahkan sebagai agama, walaupun kurang pas. Sehingga kita akan tetap memakai redaksional aslinya di sini, yaitu Ad Diin.
Tiga pilar itu adalah Al Islam, Al Iman dan Al Ihsan. Jadi kalau kita ingin menegakkan Ad Diin, mk harus menegakkan ketiga pilar itu.
Kalau kita baca secara teliti, sebenarnya Jibril bukanlah bertanya kepada Rasululullah karena tentu Jibril sudah sangat tahu apa itu Ad Diin, sebagaimana Rasulullah mengetahui itu. Adapun peritiswa ini adalah cara yang indah bagaimana Allah mengajari para sahabat ttg Ad Diin. Maka kita harus betul-betul mempelajari ketiga pilar ini. Kadang kita dalam melaksanakan Ad Diin baru berkutat dalam aspek Al Islam, dalam pengertian kalau sudah mengerjakan shalat, zakat, shaum dan haji, seolah-olah sudah menegakkan Ad diin, padahal ada pilar lain yaitu Iman dan Ihsan.
Bisa jadi seseorang shaum, zakat, haji, umrah tapi masih korupsi, berarti dalam diri orang itu belum berbuah aspek syariah itu karena belum takut kepada Allah Ta’ala. Maka Islam, Iman dan Ihsan adalah suatu jenjang. Sebuah proses pertumbuhan. Seperti sebuah benih ditanam, akarnya keluar, tumbuh batang yang bercabang-cabang kemudian berdaun banyak dan berbuah.
Diantara proses Islam-Iman-Ihsan yang relatif terukur adalah aspek Al Islam, ada ilmu fiqihnya, jadi kalau ada penyimpangan kelihatan jelas. Walaupun dalam fiqih ada berbagai mazhabnya, misal perbedaan dalam meletakkan tangan dalam shalat dsb, itu tidak apa-apa tergantung keyakinan masing-masing.
Untuk membedakan orang Islam atau tidak, bisa dari apakah orang tersebut mengerjakan shalat atau tidak, karena shalat adalah tiang Ad Diin. Ini relatif mudah. Tapi bagaimana mengukur keimanan seseorang? Ini lebih sulit, karena menyangkt dimensi lain. Sebagaimana sulit untuk menilai kekhusyukan seseorang dalam shalat. Maka Islam-Iman dan Ihsan dalam seseorang bertingkat-tingkat adanya.
Tentang Thariqah
Pembahasan “Serambi Suluk†banyakmembongkar tentang Thariqah.
Suluk adalah perjalanan, dari kata dasar salaka yang berarti menempuh atau memasuki seusatu. Yaitu alam syariah memasuki alam thariqah.
Dalam perkembangannya muncullah berbagai istilah, ada disebut tasawuf, sufi, mysticism dsb. Sebetulnya tasawuf hanya nama saja, orang bisa menamakan apa saja. Tapi intinya harus dipahami, karena sebetulnya aspek syariah itu terdiri dari dua hal; (1) syariat lahiriah ; (2) syariat batiniah. Karena Rasul juga mengajarkan tidak boleh sombong, merendahkan orang lain, mengeluh dsb semuanya adalah sebuah syariat batin.
Kadang orang mengetatkan syariat lahiriah tapi menghasil kesombongan dalam dirinya. Padahal dalam hadis Rasulullah mengatakan “Tidak akan masuk sorga orang yang dalam hatinya ada kibir (takabur/bangga diri) walaupun sebesar dzarrah.†Jadi yang menjamin ke surga bukan hanya zakat, shalat, shaum, dan haji tapi juga tidak boleh kibir, tidak merendahkan orang lain dsb.  Dengan demikian sama pentingnya memegang kedua syariat ini.
Para sufi dalam thariqah itu banyak berkecimpung dalam menata yang batin. Adapun mereka juga sangat memegang syriat, bukan berarti tidak bersyariat. Mereka shalat, shaum dsb. Tapi ilmu tentang syariat lahir ini sudah ada fuqahanya, agama itu sangat luas, jadi masing-masing saling melengkapi.
Istilah thariqah dalam Al Qur’an bisa kita lihat di QS [23]: 17 “Dan sungguh Kami telah menciptakan di atasmu 7 buah jalanâ€
Di atas kita masing-masing terbentang 7 buah langit dengan 7 buah jalan, dan 7 buah pintunya. Nanti kita akan mengerti bahwa itu harus ditempuh, ini yang disebutthariqah.
Kalau kita berthariqah, maka akan terbuka aspek haqiqat, karena thariqah itu fokusnya pembersihan hati.
Ingat urutan perjalanan suluk Syariat à Thariqat à Haqiqat à Ma’rifat
Kalau hijab qalbnya runtuh seiring dengan pembersihan qalb maka akan mukasyafah, akan terbuka. Mukasyafah akan diikuti oleh musyahadah (penyaksian).
Dengan ber-thariqah maka akan terbuka aspek Al Haqq QS [41]: 53 ini janji Allah Ta’ala. Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk (hal yang terjauh dari diri kita) dan ke dalam anfus (jiwa-jiwa)
Ini adalah sebuah tahapan, di ufuk dulu, kemudian Allah tarik ke dalam diri sendiri. Jadi akan diperjalankan keluar, baru ditarik ke dalam. Mengenal diri (jiwa/nafs).
Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu (hadits)
Ini sebuah proses, maka yang membuat urutan syariat, thariqah, haqiqat, ma’rifat adalah para ulama yang mengerti ttg jalan ini. Mengenal haqiqat yaitu mengenal aspek hakiki dari semua ciptaan Allah. Semua alam semesta-Nya baik yang diluar kita maupun yang di dalam diri kita.
Adapun ma’rifat bukan mengenal tentang ciptaan-Nya, tapi ttg Sang Pencipta.
Kalau para sufi, para waliyullah itu diperkenalkan, di mi’rajkan , ditampakkan rahasia langit dan bumi , tidak lain agar mereka menyembah-Nya lebih dalam. Lebih mencintai Allah, lebih murni ketaatannya.
Awaluddina ma’rifatullah (hadits)
Jadi orang dikatakan beragama, awalnya adalah ma’rifatullah. Utk mencapai ma’rifat harus melampaui syariat , thariqat dan haqiqat. Hanya ketika kita mengenal siapa yang kita sembah, baru agamanya (Ad Diin) kita tegak. Kebanyakan manusia walau kita sudah syahadat, sholat, zakat naik haji tapi dalam hatinya masih goyang keyakinannya tentang siapa Allah sebenarnya, banyak dari kita kadang berprasangka buruk pada Allah , ini bukti iman dan ihsannya masih goyang. Kadang begitu diuji dalam kehidupan langsung timbul prasangka buruk atau bingung. Maka orang beriman wajib membaca Al Quran karena semua aspek kehidupan ada di Al Quran. Kenapa saya bekerja disini? kenapa uijannya begitu? kenapa saya kena fitnah padahal saya rajin sholat? kenapa justru orang yang tidak sholat malah makmur dan sukses? Nah itu di tahap haqiqat kehidupan, kalau tidak kita masih berjalan dengan menyimpan prasangka buruk dan keraguan kepada Allah Ta’ala, artinya belum mengenal Allah (ma’rifatullah), dengan demikian belum tegak pula Ad Diin (agama)nya.
Dalam Shahih Bukhari hadis no 85 dan 86 disebutkan sbb:
Dari Abu Hurairah ra. Ssaya berkata kepada Rasulullah, “Ya rasulullah saya banyak menerima hadis dari engkau tetapi saya banyak lupa.†Kata Rasulullah, “Hai Abu Hurairah, singkapkanlah jubahmu!†Lalu aku menyingkapkan jubahku, kemudian Rasulullah menyaup (memasukkan sesuatu ke dalam dada Abu Hurairah) “ “Kumpulkanlah†kata Rauslullah. Lalu kukumpulkan hadis itu dan setelah itu aku tidak lupa lagi.
Dari Abu Hurairah ra.â€Saya hafal dua karung hadis dari Rasulullah, yang satu karung telah saya terangkan kepada kalian, sedangkan yang satu karung lagi kalau saya terangkan kepada kalian, niscaya akan dipotong leher saya oleh kalian.â€
Dari hadis terakhir di atas berarti ada pengetahuan yang khusus, yang sensitif , yang akal umat kebanyakan belum bisa menerima. Rasulullah menyampaikan kepada Abu Hurairah karena imannya sudah tinggi, sehingga Rasulullah bisa menerangkan banyak hal ttg haqiqat. Rasulullah tentu akan memberikan pengetahuan kepada yang berhak menerimanya.
Apakah dengan demikian Rasullah tidak amanah? Kok ada hal yg tidak sampai ke kita? Tidak, aspek yang “satu karung†itu adalah aspek hakikat dan itu akan ditemukan oleh siapapun yang mencari Allah dengan ikhlas. Siapapun dia, jika ia mencari Allah sungguh-sungguh maka akan terbuka hakikat itu, tidak akan hilang, karena panduannya Al Quran, ia yang akan mendefinisikan apa yang mereka alami.
Dalam sebuah buku Thariqah Tijaniyah ada hadis Rasulullah saw, dalam kitab Mizan Al Qubra juz 1.
“Sesungguhnya syariatku datang dengan membawa 360 thariqatan siapapun yang menempuh (salaka) salah satunya akan sampai.â€
Jadi banyak sekali thariqah yang Allah sediakan, maka tidak boleh merasa dirinya paling benar. Dengan demikian ada 360 cara penempuhan utk menempuh 7 pintu langit yang tercantum dalam QS [23]: 17.
Yang penting senantiasa kembangkan sikap mencari Allah dalam diri. Karena hal yang paling mustahil di dunia ini adalah kalau kita mencari Allah, lalu Allah tidak menuntun. Yakinkan kalau kita berbisik di hati yang terdalam, “ya Allah tuntunlah hamba  selama dzikir itu terus digaungkan, maka insya Allah tidak akan tersesat.
Tapi kalau kita sudah sampai di level manapun dalam agama, kalau tidak berdzikir seperti itu maka bisa tergelincir. Jangan kuatir salah memilih jalan, yang penting mohon yang kuat pada Allah Ta’ala. “Ya Allah jika ini batil tampakkan kebatilannya, dan jika itu benar, maka tampakkan kebenarannya…â€
Al Mawaathin Insaan
Mawaathin itu jamak dari mauthin. Dari kata wathana, artinya menempati.
Mauthin artinya tempat menetap.
Khazanah ini diambil dari Kitab Risalah al Anwar (Risalah Cahaya-Cahaya) karangan Ibnu Arabi. Beliau adalah seorang waliyullah besar, sering terfitnah karena mengurus ‘karung yang lain’. Karena kebanyakan orang tidak sampai pada apa-apa yang beliau ungkapkan.
Ibnu Arabi menceritakan tentang 7 alam (mauthin) yang akan ditempuh oleh manusia.
1. Mauthin syahadah
2. Mauthin rahim
3. Mauthin dunia
4. Mauthin barzakh
5. Mauthin mahsyar
6. Mauthin akhirat
7. Mauthin al-katsiib (bukit pasir)
Kita sekarang ada di mauthin dunia. Kita tinggal di sini beberapa tahun saja. Katakanlah 80 tahun. Tapi dibanding alam barzakh? Sangat jauh…
Rasulullah saw hidup di dunia 63 tahun (tahun komariah) dan beliau sekarang ada di alam barzakh ribuan tahun lamanya.  Belum lagi kehidupan di alam mahsyar, akhirat dst. Dan sebetulnya semua mukmin yang ada di alam barzakh, bukan tidur! Mereka sholat, belajar, ma’rifah , berkomunikasi. Semua masih ada dan beraktifitas. Memang ada orang yang mendapat azab kubur. Camkanlah tentang hal ini, dan renungkalnah bahwa sesulit apapun kehidupan yang kita hadapi di alam duniasungguh tidak ada artinya jika dibandingkan dengan ratusan ribuan tahun (bahkan lebih) kehidupan di alam barzakh dan alam lainnya.
Maka ketika manusia -dikisahkan dalam Al quran-  ditanya, berapa lama tinggal di dunia? Mereka menjawab, “sehari atau setengah hari sajaâ€. Saking lamanya tinggal di alam lain maka mereka merasa hidup di dunia sungguh sekejap mata.
Tapi yang luar biasa, justru kehidupan kita di dunia yang singkat ini justru yang paling menentukan nasib kita selanjutnya. Maka dunia disebut negeri bekal. Jika saat kita masuk ke alam barzakh dalam keadaan masih kurang bekal, bisa dibayangkan kesulitannya! Adapun kebanyakan manusia kurang bersyukur dan banyak mengeluhnya. Padahal sedahysat apapun kesulitan yang mendera seseorang di alam dunia ini masih belum apa-apa dibanding kesulitan yang akan dihadapi di alam-alam lain.
Thariqah adalah utk membangun bahtera di alam dunia agar tidak tenggelam. Kita bekerja dan berkarya di bumi ini tapi jangan sampai tenggelam di dalamnya. Bukan juga dengan cara meninggalkan dunia. Tapi bagaimana membangun bahtera individu, bekerja dan paham hakikat dunia dan kehidupan. Jadi membangunsyariat, thariqat, haqiqat dan ma’rifat adalah menyiapkan bekal saat di dunia untuk perjalanan di alam selanjutnya.
Tujuan sejati thariqah adalah untuk mengenal diri kita. Karena setiap orang punya misi sucinya masing-masing. Jalannya bermacam-macam, ada yg melakukan dzikir banyak, ada yang riyadhoh dsb. Tapi intinya hijab hati harus terbuka, sehingga mencapai musyahadah (penyaksian) tentang siapa diri kita.
Rumi membuat perumpamaan begini: Ada seorang raja menyuruh menterinya ke sebuah negeri Sang raja berkata “Pergilah ke suatu negeri dan bangunlah jembatan di sana!â€.  Si menteri kemudian pergi ke negeri itu, dan menemukan banyak persoalan di sana. Kemudian ia mengerjakan banyak hal, membangun gedung, rumah, jalan dsb. Hingga pada suatu waktu kembalilah si menteri menghadap raja dan mengaku sudah mengerjakan banyak hal. Kata sang raja, “Bagaimana dengan jembatan itu?â€. Adapun sang menteri lupa mengerjakannya…
Manusia banyak yang mengerjakan banyak hal di bumi ini, tanpa mengerti apa sebenarnya tugas spesifik yang diamanahkan kepada kita. Kita sudah sekian tahun hidup, tapi belum mengenal apa yang ada di dalam kita. Sungguh ini harus kita kejar, jika tidak kita akan kembali pada Allah Ta’ala dan kesulitan memberikan pertanggungjawaban.
Semua yang bertarekat harus menemukan kodratnya, ruhul qudus-nya . (sacred mission on earth), karena itu adalah amal sholeh tertinggi manusia. Misi itu tidak akan pernah diketahui kalau tidak mengenal jiwa yang paling dalam, yaitu jiwa yang bertemu Allah Ta’ala di mauthin syahadah QS [7]: 172.
Karena itu mauthin pertama, mauthin syahadah dikenal sbg mauthin alastu.
Sebelum kita dilahirkan dari rahim ibu kita masing-masing, ada jiwa yang ditiupkan.
Dan ingatlah ketika Rabb mu mengeluarkan keturunan anak Adam dari tulang punggung mereka,
Saat usia janin 120 hari (4 bulan) di alam rahim, sang jiwa (nafs) ditiupkan ke rahim ibu. Ini adalah peristiwa yang penting. Saat sebelumnya pada janin ada ruh bapak dan ibunya, di usia 4 bulan individu janin sesungguhnya yang akan ditiupkan (ini tercantum dalam hadits bukhari), pada saat itu ditiupkan jiwa dan ruhnya. Perhatikan adalah berbeda antara jiwa dan ruh itu.
Maka disebut man arafa nafsahu bukan arafa ruh.
Ruh dibungkus di dalam jiwa, sedangkan jiwa dibungkus di dalam raga.
Sebelum ditiupkan ke dalam masing-masing raga manusia, semua nafs (jiwa) dipanggil ke hadapan Allah Ta’ala
Allah mengambil kesaksian atas anfus (jiwa) mereka, QS [7]: 172
Perhatikan di sini yang bersaksi adalah jiwa, bukan ruh.
Bukankah Aku Rabbmu?
Mereka mengatakan ‘balaa syahidna’ (kami bersaksi)
Jadi jiwa terdalam kita sudah mengenal Allah ketika ditiupkan ke dalam raga. Akan tetapi karena wadah jiwa masih dalam bentuk janin, maka akal raganya belum berkembang optimal, jadi belum siap menerima pengetahuan yang diterima si jiwa. Kemudian pengetahuan itu terkunci dalam jiwa yang ada dalam jasad. Seiring dengan pertumbuhan raga tumbuh, si jiwa justru makin ‘tercekik’ di dalam oleh sayyiah dan dosa yang ada.
Kemudian melalui riyadhoh dan tazkiyatun nafs (pensucian jiwa), semua pengetahuan ini kembali akan terbongkar. Pada saat jiwa muncul dan menceritakan saat pertemuan dengan Allah dulu, dan si raga akan diberitahu apa tugasnya.
Perhatikan bahwa raga bahkan belum terbentuk saat jiwa masih di alam syahadah, menyaksikan Sang Rabb. Dan saat kita meninggal nanti, raga ini hancur ditelan bumi, adalah jiwa yang kemudian menerima siksa atau nikmat di alam barzakh. Jadi kita yang sebetulnya adalah komponen jiwa. Adapun raga adalah bayangan dari jiwa kita.
Saat kita berkata balaa syahidna, pada saat itu juga dikatakan apa misi hidup kita di muka bumi.
Man arafa nafsahu yaitu mengenal jiwa yang dulu dikirim ke raga yang dulu pernah bersaksi di hadapan Allah, maka akan mengenal Rabb-nya, karena dia akan menunjukkan. Jika kita mengerjakan apa yang dimandatkan Allah, itu yang akan membuat kita mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan.